Halo semuanya. Apa kabar? Sudah menjelang akhir tahun dan apakah kamu sudah ada rencana liburan?
Tulisan kali ini adalah bagian dari ekspresi saya dan sekedar cuitan karena apa yang ingin saya sampaikan sebenarnya tidak sempat tersampaikan ke orangnya. Saya menduga, penyebabnya adalah bisa dibilang teman saya ini tidak membuka dirinya sepenuhnya terhadap hal-hal baru yang mungkin tidak sesuai dengan pemikirannya saat itu.
Jadi seperti ini ceritanya...
Awal Mula
Pagi ini saya ngobrol ringan di telepon dengan seorang teman. Dia seseorang yang baru saja saya kenal sekitar 6 bulan lalu, kira-kira kami mulai berbagi pemikiran sejak akhir bulan Oktober 2024 ini. Namanya... Ah! Tidak perlu kita sebut namanya lah ya? Atau bagaimana jika saya coba kasih nama samaran saja?
Mari kita panggil dia dengan sebutan Pangeran, karena dia cowok. Kalau dia cewek, namanya Putri. Kalau dia bukan cowok bukan cewek, namanya di tengah-tengah.
Awalnya, kami membicarakan kebijakan teman kami yang saat ini menjabat sebagai seorang kepala sekolah. Topiknya saat itu: Kenapa sih Si Kepala Sekolah tidak all out dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan siswinya yang lagi ujian sekolah?
Kronologi singkatnya seperti ini:
Latar Belakang Masalah
Di suatu sekolah yang dipimpin oleh teman kami tersebut, saat ini sedang memasuki masa ujian. Ada sesi presentasi yang wajib direkam, lalu di-upload di Google Drive.
Berdasarkan pengalaman UTS (Ujian Tengah Semester) kemarin, ada beberapa siswa yang akhirnya harus remedial karena hasil rekamannya corrupted, seperti gambarnya tidak muncul, suaranya hilang, hanya terekam beberapa detik, file tidak bisa dibuka, dan macam-macam.
Beberapa orangtua murid mengusulkan agar pihak sekolah memfasilitasi perangkat untuk menghindari kejadian seperti ini lagi, jika di UAS (Ujian Akhir Semester) akan ada sesi presentasi lagi. Usulan tersebut disambut baik oleh pihak sekolah.
Pihak sekolah akan merekam sekaligus melakukan live streaming di Google Meet. Namun, ketentuannya adalah para siswa dan siswi peserta ujian harus mendownload hasil rekaman based on live streaming tersebut, lalu di-edit sendiri, dan meng-upload-nya ke folder Google Drive yang sudah disediakan.
Teman saya, Pangeran, mengkritik kebijakan pihak sekolah. Menurut dia, apa yang dilakukan oleh pihak sekolah dinilai malah semakin membebani murid-muridnya. Karena para murid jadi harus mendownload file yang size-nya bergiga-giga, lalu menginstal software video editor, mencari dirinya ada di menit ke berapa, lalu memotong video tersebut, dan terakhir meng-upload kembali video hasil editannya ke folder hasil ujian.
Kata Pangeran, kenapa enggak pihak sekolah menyiapkan satu kamera dan satu pegawai yang tugasnya merekam penampilan per siswa. Misalnya, ada murid namanya Akbar, maju presentasi selama 5 menit. Direkam oleh orang dari sekolahan menggunakan kamera handphone sekolahan. Kemudian ada murid namanya Iqbal, maju presentasi selama 4 menit. Direkam lagi sebagaimana Akbar direkam. Jadi nanti tersedia 2 files berbeda. 2 files tersebut di-upload ke folder UAS di Google Drive.
Murid-murid bisa lebih fokus ujian dan enggak terbebani lagi dengan tugas lainnya.
Menurut saya, yang dipikirkan oleh Pangeran adalah hal yang bagus. Tentu saja jika pihak sekolah mampu memfasilitasi hingga sejauh itu, amat sangat baik untuk diterapkan. Namun, saya pikir ada yang luput di sini, yaitu adanya kemungkinan bahwa bisa saja pihak sekolah memiliki keterbatasan dalam merealisasikan keinginan para orangtua murid seideal itu. Ini yang saya pikirkan.
Jadi, sebaiknya, kita maklumi saja dulu, yang penting ada kemajuan. Ada progress. Bertahap. Sesuai kemampuan. Perubahan sekecil apapun, jika hasilnya melangkah maju, sebaiknya perlu diapresisasi. Sebaiknya, selain memberikan saran, boleh juga nih kalau mau ikut berkontribusi nyata dalam bentuk tenaga, uang, perangkat, atau tenaga kerja.
Pangeran berpikir lain. Dia berpikir, jika tidak bisa seperti itu, lebih baik tolak saja. Tidak perlu ada upaya merekam dan lain-lain, karena itu dianggap malah membebani para murid dengan tugas yang tidak perlu. Apa yang dilakukan oleh pihak sekolah itu percuma.
Percuma?
"Percuma" atau "sia-sia". Ini kalimat andalannya Pangeran. Sejak dulu hingga hari ini. Padahal, menurut saya, di dunia ini perubahan sekecil apapun tidak ada yang percuma / sia-sia.
Ibarat kupu-kupu yang mengepakan sayap. Jika hanya seekor kupu-kupu yang mengepakan sayap, mungkin tidak terasa apa-apa. Tapi bagaimana jadinya jika kupu-kupu di seluruh dunia ini mengepakan sayapnya bersama-sama? Maka akan terjadi badai tornado. Inilah yang disebut sebagai butterfly effect.
Atau sample kejadian lainnya. Apa jadinya jika seluruh orang di dunia ini sepakat untuk menahan nafas selama 20 detik secara bersamaan? Maka pohon di seluruh dunia ini akan mati kekeringan karena tidak bisa mendapatkan karbondioksida. Mereka tidak bisa berfotosintesis.
Atau sample kejadian lainnya: Naik gunung. Selalu ada langkah pertama untuk mulai menanjak. Mungkin karena keterbatasan fisik, perbekalan, waktu, atau cuaca, pada pengalaman pertama kita, kita baru bisa mendaki sejauh 200-500 meter. Tapi, kalau kita coba lagi di lain kesempatan, pasti akan lebih baik. Pasti akan ada peningkatan.
Mungkin saja bukan jaraknya yang bertambah jauh. Mungkin bukan durasinya yang bertambah cepat. Mungkin bukan perbekalannya yang bertambah banyak. Mungkin bukan juga staminanya yang bertambah kuat. Bisa jadi kemampuan kita menguasai medan jadi lebih baik.
Cobalah untuk mengapresiasi perubahan kecil karena tidak ada yang percuma atau sia-sia, jika tujuannya baik.
Kembali ke awal cerita
Pangeran mengkritisi sikap teman kami selaku kepala sekolah yang menyalahkan wakil kepala sekolahnya karena membuat kurikulum yang dinilai tidak bisa mengimbangi kemampuan belajar para murid. Pangeran berpendapat bahwa menyalahkan bawahannya atas kesalahan sistem adalah perbuatan yang salah.
Pangeran saat itu bertanya ke saya apa saya setuju dengan opini dia atau tidak. Saat itu, saya bilang kalau saya sepakat dengan dia bahwa apa yang dilakukan oleh teman kami tersebut memang tidak sebaiknya dilakukan. Tapi, saya tidak berpikir tindakan teman kami itu salah 100 persen.
Saya mencoba berpikir dan mencari tahu apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut. Sedangkan Pangeran menyimpulkan bahwa teman kami hanya tolol saja.
TOLOL?
Belakangan ini banyak sekali orang yang begitu mudah mengucapkan kata tolol, bodoh, dan goblok. Kok bisa sih? Hanya karena suatu sikap atau opini seseorang tidak bisa dipahami oleh kepala kecil seseorang atau suatu golongan, lantas disebut tolol, goblok, atau bodoh.
Saya masih sulit memahami betapa mudahnya seseorang mengatai orang lain. Saya masih sulit memahami betapa mudahnya seseorang mengatai dirinya sendiri hanya untuk membuat perisai. Saya masih sulit memahami betapa mudahnya seseorang mengatai dirinya sendiri untuk mengatai suatu kelompok.
Tapi yang paling saya tidak pahami adalah ada orang yang jadi tersinggung bahkan marah ketika pendengarnya benar-benar mengamini si pembicara memang goblok, bodoh, tolol, padahal dirinya sendirilah mempresentasikan dirinya sebagai orang tolol, goblok, bodoh.
Eh? Kalimatnya ribet banget ya? Saya tulis saja dulu deh. Nanti diedit.
Kembali ke awal cerita
Pangeran berpikir bahwa saya sepakat menyalahkan teman kami tersebut. Pangeran berpikir bahwa saya benar-benar sepakat bahwa perbuatan menyalahkan bawahannya karena cacatnya sistem adalah perilaku yang salah.
Padahal bukan itu maksud saya. Betul, saya akui bahwa saya bilang saya sepakat. Tapi bukan diranah benar dan salah. Melainkan diranah perbuatan tersebut baik atau bisa gak sih diperbaiki?
Pangeran maunya segala hal di dunia ini saklek saja. Hitam dan putih. Baik dan buruk. Benar dan salah. Yin dan yang.
Padahal di warna hitam dan putih, ada lho warna lainnya. Abu-abu, misalnya?
Padahal tidak ada orang yang seratus persen baik, seratus persen buruk. Seorang koruptor negara yang melegalkan prostitusi dan judi, namun diam-diam suka berderma, misalnya? Atau seorang guru yang berdedikasi tinggi terhadap isu pendidikan di wilayah-wilayah terpencil dan terpelosok, namun diam-diam cabul, misalnya?
Padahal tidak ada perbuatan yang sudah pasti salah dan sudah pasti benar. Seorang tawanan yang dengan terpaksa memilih murtad hanya karena ingin menyelamatkan dirinya dari siksaan yang tidak bisa dia tahan lagi, misalnya? Atau seorang kepala negara yang menyetujui peraturan seorang menterinya karena berusaha mempercayai ide / usulan dengan landasan menteri tersebut dinilai lebih berpengalaman di bidang tersebut, namun ternyata sistemnya malah jadi gagal, misalnya?
Kalau mau main salah-salahan, setiap orang punya kesalahannya masing-masing. Kalau mau main kamu benar aku benar, setiap orang melakukan hal yang benar pada koridor tertentu. Tapi tidak bisa dicap seratus persen salah. seratus persen benar. Inilah yang saya pikirkan.
Makanya, saya mempertanyakan kembali: Apa iya perbuatan teman kita itu benar-benar salah?
Menurut saya, kemampuan berpikir kita sebagai manusia itu terlalu terbatas. Ada orang yang semakin tua pola pikirnya akan semakin kolot. Ada juga orang yang semakin tua pola pikirnya jadi semakin kenyal. Cobalah diseimbangkan.
Pangeran bilang seperti ini: "Jika pendapat kita masih bisa berubah-ubah, jangan debat sama orang lain. Jangan adu argumen dengan orang lain. Debat saja dengan diri sendiri."
Opini Pangeran yang seperti itu, bisa jadi benar, tapi saya tidak setuju.
Menurut saya, jika perdebatan itu tujuannya untuk show off, saya tidak suka. Tapi jika tujuan perdebatan itu untuk mencari informasi baru atau kebenaran yang luput dari pandangan kita, saya suka. Sayangnya, kebebasan mengeksplorasi adalah kemewahan yang sulit dimiliki oleh orang-orang yang saklek. Mereka cenderung tidak tahu rasanya dahaga akibat rasa ingin tahu.
Tapi mau bagaimana pun. Pangeran adalah Pangeran. Saya adalah saya. Terima kasih, Pangeran, ada renungan yang dalam di hari ini.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?