Cocot

Hai. Belakangan ini saya lagi gak semangat nulis. Padahal, banyak yang mau saya ceritain. Misalnya, tentang kegelisahan saya satu ini: Saya gak ngerti kenapa ibu-ibu susah on-time, gengsinya tinggi buat ngaku salah dan minta maaf, sudah gitu kalau ngomel lamaaa banget. Kenapa sih?

Kejadian ini saya alami beberapa hari yang lalu. Ceritanya bermula dari Kak Ranum yang ngajakin saya makan-makan di Mandapa Kirana Resort.

"Kak Ranum", begitu lah saya memanggilnya. Ranum adalah nama samaran yang saya gunakan dalam cerita ini untuk menandai seorang wanita yang mengaku berusia hampir 70 tahun. Sebagai bentuk kesopanan, saya panggil dia dengan sebutan "Kakak".

Mari kita mulai kisahnya...

***


Hari Minggu pagi, 22 September 2024. Tepat jam 8, ada WhatsApp masuk dari Kak Ranum.

DING!

"Selamat pagi, anak baik! Hari ini jadi kan kita jalan? Nanti kita ke Mandapa, berangkat jam 9 ya. Biar gak kena macet."

Saat itu saya masih ada di kereta. Mau pulang. Badan saya capek. Otak penat. Tadinya, saya kira bisa langsung tidur di rumah, ternyata masih ada janji.

Biar enggak ketiduran, saya balas chat sambil menampar pipi saya. Kami sepakat buat berangkat jam 10 pagi. Lobby apartement Tower A menjadi titik kumpul kami. 

Rupanya, saya bisa datang 12 menit lebih cepat dari waktu janjian. Saya WA dia:

"Kak, aku sudah sampai."

DING! 

"Oke, say! Tunggu ya. Aku siap-siap dulu, tinggal ganti baju saja kok!"

Firasat saya buruk! Perkataan dia mengingatkan saya kepada ibu yang kerap bilang tinggal pakai kerudung lah, tinggal kunci pintu lah, tapi gak selesai-selesai. Tapi saya mencoba berpikir positif. Mungkin Kak Ranum berbeda.

Saya menunggu di lobby. Duduk di bangku hitam. Hanya ada saya dan seorang resepsionis. Kondisi ruangan yang tenang dan sunyi bikin saya mikir untuk merem sebentar. Tapi kan gak sopan kalau tidur di situ. Biar gak ketiduran, saya minum air sebanyak-banyaknya.

Sudah habis 3 botol air mineral ukuran 600 mL. 45 menit berlalu. Dia belum beres juga! Sudah saya duga. Dasar ibu-ibu!

Berhubung apartemennya bersebelahan dengan mall, saya kirim WA lagi ke Kak Ranum untuk meninggalkan lobby. Bahasanya sih, "minta izin", walaupun mau diizinkan atau enggak, saya tetap bakalan pergi.

***


Pukul 11.29 siang, akhirnya kami ketemuan! Resiko jalan sama ibu-ibu memang gitu, hanya ada 1 dari 10 ibu-ibu yang on-time.

Tapi itu pun masih belum selesai!

Kak Ranum ketinggalan payung, jadi dia mau balik lagi ke apartemen sekalian beli cemilan. Saya pikir, ya sudah lah, kasihan orang tua, kalau sakit, nanti saya juga yang repot.

Kami jalan kaki menuju room apartment-nya. Pas melewati parkiran mobil, ada suara bayi kucing. Saya melihat seekor bayi kucing di kolong mobil sport Lamborghini kuning. Kira-kira usianya 3 bulan. Corak belang tiga: Hitam, kuning, putih. 

"Meong... Meong..."

Saya merasa iba. Dia seperti lagi minta tolong. Haus kali, ya? Atau lapar? Cuaca terik begini, pasti kepanasan. Induknya mana ya?

Sepanjang jalan Kak Ranum ngajakin saya ngomong, cerita ini dan itu. Saya tanggapi sekenanya: Oh, walah, iya, oke oke.

Mengingat saya lagi jalan dengan seorang ibu-ibu dan kondisinya kami lagi buru-buru, tadinya saya mau mengabaikan si anak kucing. Tapi, baru jalan beberapa langkah, rupanya saya enggak tega. Kepikiran!

Gimana kalau dia masuk ke mesin mobil lewat kolong? Gimana kalau dia tergilas? Gimana kalau dia terpisah selamanya dari induknya? Kok bisa-bisanya saya lebih memilih nyuekin mahkluk sekecil itu. Kenapa? Apa karena dia bukan kucing saya? Apa karena saya lagi jalan sama Kak Ranum? Saya ngarepin apa?

Saya menghentikan langkah. "Kak, saya ke belakang sebentar ya?"

"Mau ngapain say?"

"Ini ada telepon."

"Telepon?"

"Iya" Gak sengaja tombol di hape saya kepencet. Dia melirik hape saya. Enggak ada panggilan masuk. Sial! "Wah, kayaknya saya kelupaan sesuatu, Kak."

"Apa tuh say? Ayolah aku temani. Kita bareng ke sana."

"Oh aku sendiri aja! Biar cepet. Kakak mau ambil payung kan?"

"Gak apa-apa kok, say. Ketinggalan apa?"

"Hape?"

"Kamu bawa hape dua?"

Saya panik bukan main. Saya gak bisa berbohong dengan mulus. Pikiran saya cuma kucing, kucing, kucing.

"Kak, aku mau beli makan dulu sebentar ya. Aku sendirian aja ke sananya."

"Tapi kita udah mau berangkat lho ini. Kita juga udah beli cemilan banyak!"

"Yah, boleh ya? Sebentar saja."

Saya gak mau mengatakan alasan sebenarnya. Entah karena takut dicibir atau merasa sungkan.

Setelah perdebatan cukup lama, akhirnya saya berhasil nyamperin bayi kucing itu.

Konyol, ya? Cuma demi kucing, yang kata ustadz-ustadz di seluruh dunia, enggak bakalan bisa ditemui lagi di surga atau neraka. Bahkan ada ustadz bilang di salah satu podcast ternama: Jangan pelihara kucing, kotorannya najis, binatang ngerepotin yang bisa survive sendiri.

Meskipun begitu, saya tetap merasa pilihan saya sudah benar, dan saya siap menanggung konsekuensinya. Tinggal minta maaf kan? Atau dengerin omelannya sebentar. Beres.

***


Pukul 11.45 siang, kami naik taksi online. Drivernya nanya ke Kak Ranum, "kita mau kemana, ibu?"

"Kita ke Mandapa ya. Kamu tahu gak arahnya? Kemarin kan saya sudah kasih tahu tuh lokasinya."

"Oh, di mana ya? Coba saya cek maps."

"Iya, coba buka WA dari saya. Saya sudah kasih tahu tempatnya."

"Mandapa Kirana ya?"

"Hah?! Mandapa aja tuh, Pak. Emang ada Kirananya?"

"Iya, Bu. Ini ternyata ada di Bojong Koneng ya?"

"Iya, di Bojong Koneng. Kan saya sudah tulis semalam di WA."

"Oh, iya, saya cuma bingung, Bu. Soalnya, ibu bilang di Bojong Gede."

"Gak mungkin lah saya begitu! Hahaha. Bojong Gede itu kan jauh banget. Bojong Koneng, Pak! Coba baca lagi yang bener."

"Tapi ini, ibu---"

"Bojong Koneng, Pak!"

"Baik, Bu."

Drivernya melirik ke arah saya lewat spion. Saya respon dengan senyum tipis lalu menggangguk perlahan. Itu adalah isyarat yang biasa saya gunakan untuk meminta seseorang menutup topik pembicaraan.

***


Jam 12 siang, teng! Kami tiba di Mandapa Kirana Resort. Ini pertama kalinya saya makan di situ, jadi saya andalkan Kak Ranum sebagai pemandu.

Saya sering jalan dengan ibu saya. Ada banyak perilaku yang sudah jadi kebiasaan. Misalnya, pas turun tangga, saya akan menggenggam tangan beliau, lalu saya papah. Persis kayak ajudan ke Ratunya. Kalau sudah seperti itu, kadang kala ibu bakalan ngomel sambil mesam-mesem: "Apaan sih? Emangnya mama sudah nenek-nenek?!" Kami berdua cekikikan.

Atau, ketika saya lihat ibu bawa banyak barang, saya akan bantu bawakan. Tanpa saya sadari, saya memperlakukan Kak Ranum seperti itu juga.

Saat itu, Kak Ranum bilang ingin segera makan siang.

Alih-alih mencari tempat duduk, lalu memanggil pramusaji, Kak Ranum mengajak saya untuk aktif mendatangi bar kasir.

Kami lihat-lihat menu. Saya pesan segelas jus semangka dan sebatok air kelapa muda. Kak Ranum pesan gado-gado, tanpa minuman. Awalnya, saya basa-basi saja, "Kak, mau pesan minum apa?"

"Enggak, say."

"OK!"

Tapi ekspresi beliau yang terlihat kesal membuat saya tidak bisa mengabaikannya. Saya pikir, beliau mungkin sebenarnya pengen minum, tapi karena biaya atau apalah itu membuatnya terpaksa menahan diri.

Saya coba tawari lagi dan lagi. Sampai akhirnya saya bilang, "Kak, kalau mau pesan minum enggak apa-apa ya, nanti aku yang---"

Belum selesai saya ngomong, dia langsung memotong ucapan saya dan suaranya kenceng banget, "BAWEL BANGET SIH KAMU! AKU KAN SUDAH BILANG ENGGAK!"

Saat itu saya kaget. Kok dibentak? Maklum, saya ini hatinya halus. Hampir saja saya ngambek trus ninggalin dia pergi. Tapi saya segera sadar kalau yang saya hadapi adalah wanita (yang mengaku) berusia hampir 70 tahun.

***


Kejadian tersebut menjadi pengalaman pertama.

Selama ini, saya merasa sudah tahu cara menghadapi nenek-nenek. Saya berpikir, kalau ibu-ibu usia senja rata-rata senang dirayu sambil dibujuk-bujuk. Kadang kalau kita sedikit merajuk sambil manja-manja, mereka akan merasa egonya sebagai seorang ibu akan bangkit. Kalau sudah seperti itu, ketika ditambah perhatian-perhatian sederhana, mereka akan lebih enjoy dan akrab.

Ternyata, saya baru tahu, kalau saya sebenarnya enggak tahu apa-apa. Saya enggak tahu kalau ternyata perhatian saya itu dianggap berlebihan sehingga sulit diterima oleh Kak Ranum.

***


Setelah selesai order, kami mulai mencari tempat duduk. Wajah Kak Ranum terlihat masih kesal. Saya berusaha mencairkan suasana dengan mengomentari apapun yang saya lihat.

"Wah, bagus ya. Langitnya cerah ya. Banyak orang ya."

Tahu tanggapan dia? Kak Ranum bilang, "diem aja bisa gak sih?!"

Oh My God! Salah lagi. Apa mungkin sikap saya terkesan dibuat-buat?

Kami berjalan memasuki ruang makan. Banyak furniture klasik. Saya diam saja. Menunggu timing. Lebih tepatnya, menunggu Kak Ranum buka obrolan duluan. Pucuk dicinta, ulam pun tiba, dia akhirnya mau bicara lagi, "kita makan dimana ya, say? Sini aja yuk."

Saya teringat teknik conversation bernama Elephant in The Room. Yaitu, kita memainkan benda-benda atau situasi di ruangan agar bisa jadi bahan obrolan.

Pas banget, ada sekumpulan ibu-ibu lagi swafoto tepat di meja yang kami tuju.

Saya jawab gini, "wah, lagi dipakai foto nih, Kak. Kita boleh gak ya makan di sini? Apa enggak boleh ya? Hahaha... Gimana kalau kita cari tempat duduk lain aja? Wah ibu-ibu cantik banget. Ini tempat foto ya?" Saya bilang begitu dengan volume suara agak keras, biar didenger juga sama ibu-ibu itu. Sekalian berharap hatinya Kak Ranum mencair.

Ibu-ibu yang mendengarnya, nyengir, lalu sedikit bergeser sambil bilang, "Oh, mau makan ya dek? Gak apa-apa, semua ruangan di sini boleh kok kalau mau dijadiin tempat makan hahaha... Tapi boleh ya, kami foto di sini sebentar?"

Niat hati mau saya respon dengan bilang, "Hahaha, oke oke, maaf ya, ibu-ibu. Permisi ya. Mau saya bantu fotoin gak nih?" Tapi rencana saya gagal total, soalnya Kak Ranum langsung ngomel lagi, "Kamu jangan norak bisa gak sih?!"

Ya Allah. Iya deh, saya emang orang desa. Maaf ya, Kak? Padahal, saya cuma pengen wajahnya Kak Ranum enggak kotak-kotak lagi kayak di Minecraft.

***


By the way, segini dulu cerita dari saya. Ini masih bersambung. Saya Mew. Sampai jumpa di artikel selanjutnya. Bye.

Komentar