Hai, Kekasih hatiku. Surat ini aku tulis di penghujung tahun 2024. Aku belum menikah. Belum juga ada yang melamar. Memang ada seorang pria yang mendekatiku, tapi aku tidak tahu apakah itu kamu atau bukan.
Tolong jangan tanyakan perasaanku, jika pria itu ternyata memang kamu atau bukan. Karena aku kuatir salah bicara, pun aku tidak tahu bagaimana perasaanku. Yang jelas tidak sanggup aku bayangkan.
Hai, Kekasih hatiku. Surat ini aku tujukan untuk kamu yang telah menjadi suamiku di masa mendatang. Jadi, untuk pria-pria yang membaca surat ini sekarang, di kondisiku sekarang, mungkin saja ini bukan untukmu.
Hai, Kekasih hatiku. Aku tidak tahu bagaimana kita nantinya bisa bertemu dan akhirnya menikah. Aku juga tidak tahu perjalanan kita akan serumit apa, atau semudah apa. Lika-liku perjalanan yang tidak bisa aku terka. Yang aku tahu, ketika aku akhirnya menerima lamaranmu, semata-mata karena aku ingin merajut kebahagiaan bersama denganmu di dunia hingga ke akhirat. Sehidup. Sesurga.
Hai, Kekasih hatiku. Aku tahu aku bukan orang yang mudah untuk kamu tangani, tapi aku tahu aku adalah wanita yang terus berusaha menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Aku melakukan itu, demi dirimu, demi kebahagiaanmu, demi kenyamananmu. Mungkin dalam prosesnya, aku akan sedikit sakit, tapi tidak apa-apa, selama masih dalam koridor yang tidak melanggar syariat agama, aku akan menyesuaikan diri.
Mungkin kamu juga akan merasakan sakit yang sama karena diriku, tapi tolong bersabarlah demi kebahagiaan kita bersama.
Hai, Kekasih hatiku. Aku tahu bahwa dipertemuan pertama kita pasti aku terlihat aneh bagimu. Terlihat seperti tidak terlalu memerdulikan perasaanmu, terlihat pemalu dan sekilas agak garang. Tapi ketahuilah, itu tidak berlangsung lama, karena sejatinya hatiku sangat lembut. Aku tidak ingin melukai kamu lebih banyak, makanya mungkin taring-taringku akan aku copot satu persatu. Sayangnya, karena gigiku semuanya adalah taring, jadi yah, mungkin aku bakalan ompong.
Hai, Kekasih hatiku. Aku ini wanita yang mudah sekali menangis. Terutama, saat sendirian. Terutama, di tempat sujudku. Tidak mudah bagiku untuk berbagi kesedihan bersamamu, karena aku kuatir, tetesan air mataku akan mengkristalkan hati kita. Sebab, jika kau sentuh setiap bulirnya, rasanya sedingin embun pagi.
Hai, Kekasih hatiku. Saat aku menulis surat ini, aku sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak tahu apakah kita bisa bertemu di dunia atau tidak. Aku tidak tahu kamu hidup atau mati. Aku tidak tahu kamu nyata atau imajinasi. Aku tidak tahu aku berharap kita bisa bertemu atau tidak. Satu hal yang aku tahu, aku tidak berencana hidup di dunia ini dalam jangka waktu yang lama.
Mungkin aku pernah bercerita kepadamu tentang aku ingin menyusul ibuku ketika beliau nanti meninggal dunia. Tapi jika kita menikah ketika kedua orangtuaku masih sehal wal'afiat, mungkin kita akan membentuk kisah yang baru.
Satu hal yang aku tahu, aku takut melihat masa depanku. Karena aku tengah takut terhadap diriku sendiri. Aku kuatir, kamu melihat sosok monster buruk rupa buruk hati bercangkang manusia dalam diriku. Bagaimana aku bisa menjalani hidupku?
Hai, Kekasih hatiku. Ketahuilah, aku mencintaimu setulus hatiku. Itu sebabnya, aku ingin kita menghadapi semuanya bersama-sama. Mari kita berbagi kisah, tenaga, pikiran, dan harta. Mari kita tulis bersama-sama cerita kita. Mungkin tidak semuanya indah, tapi jika kita terus berusaha bersama bukankah apa yang ada di balik cerita itu justru jadi lebih indah?
Hai, Kekasih hatiku. Tidak mudah bagiku untuk mencintai seseorang. Jika sudah ada pria yang mengisi hatiku, pastilah sangat sulit untukmu masuk ke dalam hatiku. Jadi tolong jangan minta seseorang yang saat itu aku sayangi untuk mundur dari posisinya, karena aku akan sangat terluka. Jika aku tahu, kamu pernah melakukan itu, aku akan sangat marah karena kamu merebut paksa tahtanya. Tapi aku akan berdoa agar aku tidak dipersatukan dengan pria sepertimu.
Hai, Kekasih hatiku. Aku tidak menyukai pria dengan nama (mau bagaimanapun cara penulisannya, yang jelas dibaca seperti ini) Aris, Arif, Adit, Aditya, Deni (pakai huruf vokal "E", dibaca "Deni", mau bagaimanapun cara penulisannya), dan pria dengan nama-nama malaikat dalam agama Islam. Jadi aku harap, namamu kelak bukan salah satu dari mereka. Aku tidak membenci pria dengan nama-nama itu, tidak sama sekali, tapi aku berdoa segenap hatiku agar tidak menikah dengan pria dengan salah satu nama ini. Insya Allah tidak menikah dengan pria bernama salah satu dari itu, Insya Allah.
Apa alasanku? Sesuatu yang personal. Aku tidak mau. Intinya begitu. Sudah jangan tanya lagi. Tolong. Dan jangan juga berdoa agar aku berubah. Jangan, tolong. Jika kamu menghormati seleraku, tolong jangan. Tolong!!!
Jika kamu adalah pria itu, pergilah, kumohon, jangan mendekat sedikit pun! Aku mohon, jangan mendekat. Berteman pun, aku tidak tertarik. Cukup sebatas saling mengenal saja. Seperti berkenalan dengan tetangga yang jarang ditemui. Sebatas tahu kalau kamu hidup dan kamu ada di lingkunganku.
Aku aneh? Biar! Terus kenapa? Kamu pikir aku bercanda? Aku serius. Kalau kamu menganggapku tidak serius saat menuliskan semua ini, itu kebodohanmu! Aku sudah memperingatkan.
Aku tidak menerimamu, insya Allah tidak akan menerimamu, jadi jangan mendekat, jangan memaksa, buktikan cinta dan kasih sayangmu dengan tidak melakukan apa yang tidak aku inginkan. Jangan berpikir dengan maju terus itu akan membuatku terkesan. Tidak sama sekali. Pergilah. Dari sekarang!
Ya Allah, tolong lindungi aku. Aku mohon, ya Allah. Aku berlindung kepada-Mu.
Sudahlah, surat ini harusnya romatis. Tapi hatiku jadi kemrungsung.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?