Akhir-akhir ini saya berpikir: Seandainya suatu hari, saya akan kehilangan salah satu anggota tubuh, bagian mana yang kira-kira semudah itu diikhlaskan?
Sekitar 4 bulan lalu, saya berkenalan dengan seorang pria buta. Dia kehilangan pengelihatannya karena lambatnya penanganan pasca kecelakaan. Saya tidak yakin, bahwa menyebutkan namanya di tulisan ini menguntungkan bagi dia, jadi cukuplah kisah kami berdua, saya kenang dalam hati.
Meskipun daya pengelihatannya tersisa 40 persen, tapi saya pikir siang dan malamnya tidak lagi beda.
Saya tidak merasa iba, karena berdasarkan buku-buku dan video-video dokumentasi penelitian, dapat disimpulkan bahwa orang buta lebih bisa melihat alias lebih peka dibandingkan orang normal. Jadi, sudah sepantasnya saya merasa malu kalau saya tidak bisa memanfaatkan mata saya secara maksimal.
Lantas saya berpikir: Memangnya mata saya ini buat apa?
"Buat baca buku." Ah! Enggak juga. Zaman sekarang ini sudah semakin banyak buku-buku yang ditulis menggunakan huruf braille.
"Buat baca komik." Apa seandainya seluruh komik di dunia ini dimusnahkan, lantas mata saya jadi tidak berguna lagi?
"Untuk memandangi wajahmu." Gombal banget gak sih? Toh saya yang buruk rupa ini mestinya lebih tahu diri. Ya syukur kalau orang yang saya pandangi enggak merasa risih. Tapi bagaimana kalau dia jadi gak nyaman trus menghindari saya selamanya? Apakah buta lebih baik?
Saya mencoba mengingat-ingat tulisan para sufi. Ah, mungkin mata saya ini untuk mengagumi ciptaan Allah. Bisa juga sih begitu. Tapi apa kalau suatu hari saya buta, saya akan berhenti mengagumi ciptaan-Nya?
Saya terus-menerus berpikir, kira-kira apa sih fungsi mata saya?
Nyaris berlinang air mata saya, saking belum juga menemukan jawabannya sampai baris kalimat ini ditulis.
Bagaimana dengan mengoperasikan komputer dan membalas chat? Jika saya masih bisa melihat, ada banyak informasi digital yang bisa saya jaga secara sadar. Saya gak perlu kuatir obrolan pribadi saya dengan si dia dibaca oleh orang lain. Saya gak perlu was-was akun saya dibobol ketika menginputkan kata sandi.
Betul! Tapi, masih belum tepat. Memangnya sesering apa sih saya chatingan? Toh, teman juga gak punya-punya amat. Mana masih jomblo hingga setua ini. Trus, emangnya seberapa lama sih saya berkutat di depan komputer? 24 jam penuh?
Apa iya segitu enggak bergunanya mata saya? Mata yang saya banggakan bisa melihat banyak hal tersembunyi. Mata yang saya andalkan untuk mengamati berbagai fenomena di sekitar saya.
Rasa-rasanya, jika saya yang dibikin buta dibandingkan teman saya tersebut, dunia ini tidak akan terpengaruh apa-apa.
Harga bensin masih akan tetap naik. Indonesia akan tetap gonta-ganti presiden. Kucing-kucing saya akan terus berusaha mencari makan. Ayah ibu saya akan terus menua. Ajal saya akan terus mendekat.
Kucing-kucing saya... Mama dan abah... Apa saya masih bisa terus bersama mereka meski suatu hari saya buta?
Di titik ini saya yakin, keadaan saya tidak akan sama lagi. Siang malam tidak berbeda, tetap gelap gulita. Meskipun saya menusuk mata saya berulang kali, hal itu tidak akan mempengaruhi pengelihatan saya. Hanya menambah luka.
Tapi, dengan terus menerus membayangkan, jika suatu hari saya akan menjadi buta, rasanya saya tidak sanggup. Air mata saya tidak bisa berhenti menetes. Meskipun saya masih belum tahu bagaimana cara menggunakannya.
Lalu, saya mulai merenung, kira-kira apa yang saya sukai dari mata saya?
Saya memandangi cermin. Saya tatap lekat-lekat.
Mata saya cantik, rupanya. Pantas saya menyayanginya. Terlihat jernih. Ada warna cokelat pramuka mengitari lembah hitam legam di tengah-tengah. Di tepi terluarnya, ada warna hitam dan biru melingkar seperti cincin. Sekilas saya melihat tesktur berbukit-bukit. Seakan-akan bola mata saya merupakan planet dalam planet. Apa ada penghuninya?
Apa lagi selain itu?
Mata saya pandai menangkap detail-detail rumit. Pantas saja saya menyayanginya. Gara-gara kemampuan ini, saya tidak mudah sakit hati, bisa mengontrol tingkat kewaspadaan saya, bisa segera menyusun strategi secepat mungkin, bisa menangkap isyarat, tanpa saya perlu capek-capek.
Lalu apa lagi ya?
Mata saya gemar bicara sendiri. Pantesan saya tidak rela jika harus kehilangan. Mata saya tidak bisa berhenti membicarakan apa saja yang pernah dia saksikan, baik melihat hal-hal yang banyak mudhorot-nya, maupun menyaksikan hal-hal yang mengharukan. Mungkin ini juga sebabnya, saya tidak pandai berbohong.
Jika saya menjadi buta suatu hari nanti, mungkin hidup saya berakhir di situ.
***
Segini dulu curhatan saya. Terima kasih telah membaca. Saya Mew. Sampai jumpa di artikel selanjutnya. Bye bye.
Mata mu cantik sis..
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih ya 🙏 saya juga berpikir demikian :p
Hapus