Orang baik. Orang pintar. Penilaian yang gampang banget kita sematkan kalau lagi happy dan kagum. Kadang kalau lagi pengen nyindir orang tertentu, POV kayak begini juga bisa kita pakai.
Dulu tiap kali saya mendengar ucapan kayak gini, gak pernah berani nanya, "Kenapa?"
Pokoknya, ya bener aja gitu dalam pandangan orang itu. Apalagi kalau yang ngomong adalah orang yang saya kagumi. Saya idolakan. Buat saya dia gak cuma sekedar selebriti, tapi juga orang suci.
Saking pengennya dipuji sebagai orang baik atau orang pintar sama orang itu, saya melakukan banyak hal.
Misalnya, kalau dia ngomong saya ketawa, meskipun gak ngerti lucunya dimana. Atau kalau lagi berpelesir, saya bakalan beliin dia oleh-oleh. Saya belajar mati-matian, setengah hidup, biar dapat ranking satu di sekolah. Tiap kali ngobrol sama orang, sebisa mungkin saya menggunakan kosakata sulit.
Karena apa? Karena saya mencontoh.
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, saya kadang gak ngerti kenapa pujian "orang baik" dan "orang pintar" itu saya perlukan. Dan kayak apa sih standarnya?
Apa kalau ada temen yang lagi kesulitan keuangan trus saya bantu ngutangin artinya saya sudah jadi orang baik?
Apa kalau saya sering jadi juara kelas artinya saya orang pintar?
Apa kalau saya menikah sama orang dengan power kuat dan kaya raya artinya saya orang pintar?
Apa kalau saya selalu menolong orang bahkan jadi sukarelawan tanpa pamrih artinya saya sudah jadi orang baik?
Karena sepanjang pengalaman saya, saya yang berjuang mati-matian untuk mendapatkan pujian sesederhana itu saja, enggak pernah dikasih. Pun kalau ada orang yang bilang begitu ke saya, rasanya kalimat itu seperti dilempar. Persis kayak pengemis dikasih recehan, atau biduan dangdut disawerin.

Selama hampir setahun belakangan ini, saya mulai berani memberanikan diri untuk bertanya kepada orang yang berani ngasih penilaian terbuka. Dia baik. Dia pintar.
Kenapa saya seperti itu? Karena mungkin saya sudah lelah mengejar dua prestasi yang gak ada SNI-nya. Dan kayaknya enggak terasa manfaatnya buat saya secara signifikan.
Pernah ada kejadian saya lagi nongkrong bareng teman-teman komunitas. Setiap orang dikasih jatah nge-review temen sendiri. Ada yang cerita pengalaman buruk. Ada yang nyeritain kisah manis. Sampai akhirnya, saking indahnya itu cerita, dia bilang, "dia memang orang baik". Semua mengiyakan, kasih afirmasi positif, kecuali saya.
"Emang orang baik itu kaya apa sih?" Asal celetuk saja. Tapi berhasil saya lontarkan atas dasar rasa penasaran yang tinggi.
Saya sudah gak mikir lagi reaksi, efek, dan akibat celetukan yang kesannya sinis begitu. Tapi, saya yakin, dengan saya nanya begitu, saya berhasil melakukan dua hal penting.
Pertama, mengobati rasa penasaran saya. Dan yang kedua, berhasil meletakan batu bata pertahanan saya yang pertama.
Saya penasaran, apa stigma baik itu? Apa standarnya biar saya juga bisa dibilang pintar sama kamu? Apa?
Kalau dengan traktirin kamu kopi trus saya bisa dibilang baik oleh kamu, tiap kali kita nongkrong bareng, saya bakalan bayarin kopimu.
Kalau dengan ngutangin uang trus gak saya tagih-tagih biar saya bisa dibilangin baik oleh kamu, saya akan lakukan itu.
Kalau dengan berhasil bikin kamu ketawa tiap kali kita ngobrol, trus saya dipuji pinter sama kamu, saya akan berusaha buat jadi orang seperti itu.
Tapi, setiap orang yang saya temui kan pribadinya lain-lain. Ada yang cuma karena disenyumin dan disapa tiap ketemu trus sudah dikatain orang baik. Ada juga yang karena bersedia dijadiin tempat curhatan, jadinya dinilai orang baik.
Mungkin saya sudah lelah mengejar penilaian itu. Lelah berusaha agar dipandang baik dan pintar. Karena saya sendiri sampai sekarang enggak mengerti sesungguhnya orang baik atau orang pintar itu yang seperti apa?
Kalau menurut kamu gimana? "Orang baik" atau "orang pintar" itu yang kayak apa? Tolong tulis di kolom komentar, ya. Terima kasih sudah membaca. Saya Mew. Sampai jumpa di artikel selanjutnya. Bye bye.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?