Rahasia Panjang Umur

Kenapa kebanyakan manusia berharap berumur panjang? Sungguh sulit saya pahami.

Ada yang bermimpi bisa melihat keturunannya beranak pinak. Nanti punya cucu, cicit, hingga seterusnya. Ada juga yang sekedar ingin hidup saja, sekitar 100 bahkan 1000 tahun lamanya.

Padahal, menjadi tua itu tidak menyenangkan. Stamina menurun. Tulang menyusut. Kulit keriput hingga wajah jadi peyot. Saluran pencernaan semakin sensitif. Saluran pembuangan semakin kendor dan sulit dikontrol, sehingga kalau tiba-tiba mau buang air besar atau air kecil, rasanya susah untuk ditahan.

Intinya, menjadi tua itu lebih banyak enggak enaknya. Selain itu, belum tentu juga semakin tua akan semakin bijak dalam menjalani dan menghadapi permasalahan hidup.

Bukankah menjadi tua adalah kemunduran? Kecakapan berpikir semakin menurun. Kepribadian semakin kekanak-kanakan. Hampir-hampir tidak ada keuntungannya kecuali kelebihan umur dan menjadi manusia bersejarah. Apa enaknya hidup sebagai fosil atau manusia prasejarah?

Pun, anak muda sekarang ini makin lancang. Apanya yang menyayangi yang muda dan menghormati yang tua? Bocah lebih suka disayang dan diperhatikan, ketimbang menghormati dan menjaga perasaan sesepuh mereka.

Tapi boleh jadi wajar saja kan? Karena generasi muda, sejak mereka dilahirkan ke dunia ini telah diizinkan untuk mencicipi nikmatnya kebebasan. 

Hal yang semakin tidak saya mengerti adalah mereka menyuarakan anti-diskriminasi, namun tanpa sadar malah mendiskriminasi seseorang yang tak sepaham atau tak sejalan dengan dirinya. Tidak suka diatur, tapi begitu dibebaskan juga mengomel. Aturan yang menguntungkan dirinya sendiri dipatuhi dan dijadikan tameng diskusi, tapi peraturan yang dianggap menjatuhkan harkat dan martabatnya akan dicerca habis-habisan.

Lucu ya zamanku? Lucunya negeriku. Dan, yah, negeri orang juga sama saja lucunya.

Jadi, apa rahasia umur panjang?

Jika ingin hidup lama di muka bumi yang fana ini, maka rindukanlah kematian. Berdoalah banyak-banyak agar usia anda hanya seujung kuku bayi kucing yang baru lahir kemarin.

Iya. Betul lho. Dengan syarat dan ketentuan, yaitu trik ini hanya berlaku kepada diri sendiri ya. Gak percaya? Saya sudah buktikan, ya.

pulang ke rumah yang tidak didambakan


Sejak kelas 1 SD (Sekolah Dasar), saya sudah ingin sekali mengakhiri hidup saya. Berbagai macam jalan sudah saya tempuh.

Misalnya, setiap pulang sekolah, saya berjalan pulang dari sekolah sampai rumah di jalur lintasan kereta api. Tiap kali saya menyadari akan ada kereta yang lewat di jalur yang sedang dipijak, saya tanpa ragu bergeser ke rel sebelah. Terdiam cukup lama, memandangi rangkaian gerbong kereta yang melintas dengan kecepatan maksimal, seraya berpikir: Apa ya rasanya berada di tengah-tengah dua kereta yang berlari secepat ini?

Kadang saya juga membayangkan diri saya tersambit kerikil yang mental dari tepian rel gara-gara dihempas roda-roda besi tersebut. Seperti apa ya rasanya? Pasti sakit kan? Apa akan berdarah? Apa akan cacat? Apa akan langsung mati? Apa bisa menembus tulang?

Pernah suatu hari nasib saya (nyaris) na'as. Saat berjalan pulang melewati jalur rel kereta api seperti biasanya, tanpa saya ketahui ada kereta mendatangi saya dari arah belakang. Saat itu, saya seperti orang tuli, gak bisa dengar apapun, selain suara klakson mobil di jalanan yang sama sekali enggak macet.

Ada juga suara teriakan orang-orang di jalan yang manggilin saja sedari tadi. Saya pikir, apa mungkin saya seterkenal itu? Apa iya, saya mendadak seleb? Hahaha. Kok bisa sih intrik semacam ini tiba-tiba mencuat entah dari mana asalnya? Malah terjadi pada tengah hari bolong pas saya berandai-andai diberi kesempatan mengakhiri hidup yang gak berfaedah.

Karena kelamaan noleh ke samping gara-gara memperhatikan mereka yang ada di jalanan, akhirnya melalui sudut mata, saya melihat kereta yang melaju kencang ke arah saya. Menyadari hal itu, saya jadi berpikir: Oh, sudah saatnya ya?

Saya diam saja berdiri di rel. Menikmati pemandangan berupa moncong kereta api yang semakin membesar dan perlahan mulai nge-blur. Namun, secara bersamaan, saya bisa melihat dengan jelas wajah pak masinis dan rekan-rekannya.

Saya menghela nafas panjang, lalu berdoa: "Ya Allah... :)"

Saat itu, tidak ada rasa gentar atau takut. Tubuh saya enggak gemetar, tidak juga mengeras seperti kayu yang kaku. Ya, seperti biasa saja. Seperti tidak ada apa-apa.

Tapi, keajaiban terjadi. Tiba-tiba kereta itu pindah jalur. Barulah saat itu saya seperti kena sirep! Terheran-heran. Lho, kok keretanya pindah? Gak jadi lewat sini?

Setelah kereta tersebut melewati saya begitu saja, tanpa unggah-ungguh. Tanpa basa-basi. Tanpa menyalami. Juga tiada tegur sapa. Akhirnya, saya menerima takdir ini.

Sejak dulu hingga setua ini, keinginan saya belum juga berubah. Saya ingin sekali mati.

Ketika bertemu kawan yang begitu dekat secara emosional, saya kerap memintanya berjanji agar tidak mati mendahului saya. Ketika berjumpa dengan guru yang benar-benar saya hormati, saya terus memohon kepada sang guru agar hidup lebih lama daripada saya.

Nyatanya, saya lah yang ditinggal pergi. Mereka mendahului saya lebih cepat. Anehnya, saya terlahir dengan berkat, yaitu mampu merasakan kapan maut menjemput. Itulah sebabnya, saya terkadang menangisi mereka lebih dahulu. Mengucapkan salam perpisahan kepada mereka lebih awal.

Saya terus berpikir. Berpikir. Dan berpikir.

Kenapa orang-orang di sekitar saya yang berangan-angan memiliki usia yang panjang, malah hidup sangat singkat? Sedangkan saya yang benar-benar ingin sekali mati, tidak juga mati?

Siapakah yang memegang nyawa kami sejatinya?

Benarkah Tuhan yang Maha Kuasa itu memegang kendali atas nyawa setiap makhluk? Benarkah Dia mampu menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup? Jawabannya tertulis di Al-Qur'an. Juga bisa saya temukan di berbagai Al-Kitab. Iya, saya tahu. Tapi, bukti empirisnya tidak mengarah ke sana.

Apa mungkin Tuhan hanya mampu meniupkan ruh agar suatu makhluk itu bisa bernyawa, namun Ia tidak mampu mencabut nyawa mahkluk tersebut? Jika bukan Tuhan yang saya kenal selama ini lah yang memegang kendali nyawa tersebut, lantas siapa?

Mungkinkah nyawa suatu makhluk hanyalah permainan bagi-Nya? Apakah nyawa merupakan perangkat yang memberikan-Nya identitas sebagai Tuhan?

Kenapa Tuhan melarang kita untuk bunuh diri dan membunuh? Saya pikir, peraturan itu Ia ciptakan bukan disebabkan rasa kasih sayang-Nya, melainkan karena itulah satu-satunya indikator yang bisa dilihat, dirasakan, dan dijadikan bahasa renungan mengenai keberadaan dan kuasa Tuhan.

Bagi orang-orang yang lelah meminta. Juga bagi orang-orang yang sudah jatuh ke titik nadirnya.

Bagi orang-orang demikian, pada akhirnya berkamuflase. Membohongi dirinya sendiri dengan pemikiran-pemikiran yang bisa menenangkan dirinya sendiri, yaitu: Tuhan adalah Tuhan. Tuhan bukan jongos. Tuhan bukan the golden button yang kalau kita tekan maka Dia akan muncul kehadapan kita kemudian bertanya, "Apa yang kau inginkan wahai hamba-Ku?" Jadi biarlah Tuhan bekerja sesuai dengan kehendak-Nya dan tatanan skenario hidup yang sudah ditulis sebelum kita semua tercipta.

Lantas, siapakah pemegang nyawa itu? Saya sangat ingin memberikan seluruh nyawa saya yang tersisa kepada para cendikiawan cerdas yang kuat akal budinya dan mulia akhlaknya. Bukan kah lebih bermanfaat?

Apalah saya ini? Seandainya saya hidup hingga seribu bahkan ratusan ribu tahun pun, tidak akan berguna. Saya hanya berfungsi sebagai saksi hidup atas semua perubahan yang terjadi di dunia ini. Selain itu, saya hanya hidup sebagai figur biadap yang bisa dipelajari oleh manusia sekitar saya agar tidak mengikuti jejak saya. Maka dari itu, bolehkah saya mati secepatnya?

Bukan karena rindu berjumpa dengan sang Pencipta. Apa itu rindu?

Saya hanya tidak betah. Seperti hidup menumpang di rumah orang, saya hanya ingin pulang ke rumah. Yaitu naungan yang disebut dengan alam baka.

Jadi, kapan sekiranya kematian menghampiri saya? :)

Komentar

  1. Haha, saya beneran menumpang di rumah orang. Ingin pulang ke rumah asli saja saya harus memikirkan keluarga. Ribet

    BalasHapus

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?