Mama, Kenapa Semua Orang Pergi?

"Mama, kenapa semua orang pergi?" Tanyaku suatu hari kepada ibuku. Beliau diam beberapa saat, lalu balik bertanya: Siapa?

"Banyak, Ma... Seperti guru-gurunya adek, kawan, kerabat, dan para sahabat. Bahkan kucing adek pun kini satu per satu menghilang. Pergi lalu tidak kembali. Kenapa ya, Ma?" Jawabku.

Ibuku tampak tidak suka dengan pertanyaan semacam itu, mungkin bagi beliau buang-buang waktu saja memikirkan hal yang lumrah terjadi. Jadi beliau mengomeliku. Dari seabrek omelannya, yang kuingat hanyalah: Begitu saja ditangisi. Kalau pergi ya sudah, kalau mati ya sudah. Makanya, baik-baik sama orangtua dan kakak. Nanti kalau sudah gak ada, baru tahu rasanya.

Selama ibu berceloteh ria sibuk menasehatiku, nampaknya otakku sibuk memutar ingatan-ingatan ketika aku curhat kepada almarhum guruku. Dulu, saat beliau masih hidup, aku lumayan sering curhat melalui catatan digital yang kuselipkan di aplikasi Notes pada iPad milik beliau.

alasan semua orang pergi


Kadang aku bingung kenapa ada yang menganjurkan untuk tidak perlu lagi berdo'a usai sholat, dengan dalih selama kita melakukan gerakan sholat, sejatinya kita sudah berdo'a. Kenapa ya? Sulit kumengerti. Bukankah semakin banyak berdoa semakin besar peluangnya? Hal ini kutanyakan pada sang guru. Juga ketidak-tahuanku yang lainnya pun aku sandarkan pada beliau, dengan harapan suatu hari beliau bersedia membantuku keluar dari kebodohan ini.

***

Aku teringat satu kisah. Suatu hari beliau mengatakan di sela-sela dakwahnya bahwa beliau ingin sekali pergi ke Palestina untuk ikut berjihad. Beliau akan berusaha meminta doa dan restu ayahanda dan ibundanya. Jika keduanya mengizinkan dan ridho, maka beliau akan langsung berangkat.

Mendengar itu, aku pun juga ingin pergi. Bukan karena aku suka baku hantam. Bukan karena aku merasa jago berantem di lapangan. Bukan karena aku menilai tinggi berjihad melalui jalur perang. Namun, hanya karena aku menyukai berada di sisi guruku.

Pikirku, jika aku bisa terus bersama beliau, maka akan ada lebih banyak hal yang bisa aku perhatikan, pelajari, dan aku serap ilmunya. Lagi pula, beliau kan guruku, masa iya sebagai murid aku diam saja di rumah?

Aku sampaikan niat tersebut kepada ibu dan kakakku. Namun, mereka melarang. Katanya, buat apa aku ke sana? Beladiri tak pandai. Pegang senjata juga tak bisa. Menjadi perawat pun, sepertinya nanti malah pasien-pasien di sana yang sibuk merawat diriku yang lemah ini. Mendengar itu semua, aku mengiyakan.

Aku sampaikan pada sang guru bahwa aku tidak bisa ikut beliau ke medan perang, karena nanti hanya akan menyusahkan banyak orang. Saat itu aku tertawa-tawa. Menertawakan kekonyolan pikiranku yang sempat ingin mengikuti langkah-langkah sang guru. Namun, rupanya itu tidak lucu bagi beliau. Katanya: Sejak dulu sampai sekarang kita ini akan selalu sendirian. Saat dikandungan kita sendirian. Saat dikuburkan juga akan sendirian. Tidak ada yang akan menemani, sekalipun dosa dan amal ibadah kita.

"Kenapa seperti itu, Guru?" Beliau terdiam, lalu tersenyum dan berkata, "memang demikian."

***

Konsep hidup "memang demikian" atau "sudah lumrah terjadi" inilah yang masih belum bisa aku terima. Walaupun begitu, aku mampu membuat ratusan, ribuan, bahkan jutaan teori berdasarkan berbagai literatur dari sudut pandang berbeda-beda.

Jika perpisahan itu disebabkan kematian, maka akan menimbulkan duka.

Jika perpisahan itu dikarenakan pertengkaran, maka akan menyisakan luka.

***

"Ma, kenapa ya semua orang pergi?"

Aku terhenti dari lamunanku dan kembali ke realita. Rupanya, ibuku masih bersemangat menasehatiku. Memberikan wejangan-wejangan dan wasiat sebagai bekal hidup.

Ya sudahlah, ku dengarkan saja petuah beliau.

Komentar