Miris! Lawatan Sungai Ciliwung, Penyalur Sampah Raksasa Di Tatar Pasundan

Air merupakan asal mula penciptaan segala sesuatu yang hidup (Q.S. Al-Anbiya: 30). Maka sungai seharusnya adalah awal peradaban manusia.

Lawatan Sungai Ciliwung, penyalur sampah raksasa di Tatar Pasundan, menjadi curhatan pembuka di tahun 2018. Bagaikan dua sisi koin, tidak mudah bagi saya untuk menyampaikan risalah hati ini kepada kamu. Namun, bukan berarti saya kesulitan menuturkan segalanya.

Ada ungkapan kerinduan di sini. Kisah batang air Ciliwung yang diwariskan para leluhur secara turun temurun. Tentang riuh dan ricuh gemericik air saat menghantam bebatuan kali. Juga, kesaksian mereka terhadap permainan para pengelana mayapada.

Komunitas Tjiliwoeng di Sungai Ciliwung


"Perjalanan Bujangga Manik", sebuah naskah Sunda kuno pada abad ke-15, yang telah ditransliterasikan juga diteliti oleh Jacobus Noorduyn dan A. Teeuw, bagaikan ramalan kesehatan Sungai Ciliwung 2018.

Konon, dia disebut sebagai "Cihaliwung/Cihaliweung". Berarti air/bentangan air/sungai yang keruh. Sayangnya tidak pernah saya sangka, sungai sepanjang 120 km tersebut sudah menjadi pemasok sampah terbesar se-Priangan.

Berita ini saya ketahui dari teman-teman komunitas Tjiliwoeng saat lawatan Sungai Ciliwung, di akhir Desember 2017. Badewei eniwey, mereka menjuluki dirinya sebagai Laskar Karung. Just FYI, not FYA, ya.

Assalamu'alaikum, Laskar Karung!

Perjumpaan kami bermula dari postingan Mas Suparno Jumar. Dia kerap mengunggah aktivitas beberes Ciliwung, sambil sesekali menebarkan pesona sungai legenda, dimana zaman dulu kerap menjadi tempat mandinya noni-noni Belanda.


Saya tergiur dengan kemolekan batu-batu besar dan gagah. Komposisi semak-semak yang rimbun. Ditambah harmoni lumut dan lumpur sebagai aksesoris bengawan di Tanah Sunda.

Ah! Nostalgianya remaja sungai. Kangen bisa kecipak-kecipak lagi di tepi kali. Menginjak arakan kerikil halus. Bermesraan dengan kawanan pasir dan tanah. Membayangkan ikan-ikan asli sungai berenang memacu adrenalin.

Lalu, apa iya saya bisa merasakan sensasi kejut melihat ular, buaya, dan kera liar melintasi kami? Akhirnya, saya segera woro-woro ke laskar karung (Tjiliwoeng). Menginformasikan keturut-sertaan saya di event mendatang mereka.

Mari Bergabung Susur Sungai Ciliwung


Taman Ekspresi, Sempur, Kota Bogor

Hari yang dinanti-nanti pun tiba. Event Susur Sungai Ciliwung, tanggal 30 Desember 2017. Tepat satu hari, sebelum malam pergantian tahun baru 2018. Kami berkumpul di Taman Ekspresi, yang berlokasi di sebelah lapangan Sempur, Kota Bogor.

Berdasarkan informasi di Instragram, schedule mereka dimulai dari jam setengah 8 pagi. Karena rumah saya jauh dan minim transportasi, di Pemukiman Muslim Bukit Az-zikra Sentul, saya pun minta tolong bapak untuk mengantarkan ke meeting point.

Alhamdulillah, saya datang sekitar 46 menit lebih awal. Sehingga saya masih sempat jeprat-jepret. Mengabadikan kegiatan warga Bogor di akhir pekan. Dan sesekali keconangan ndesonya, waktu mengamati beberapa peralatan olahraga di situ.

Setelah puas cuci mata, saya menghubungi Mbak Sudiyah Istiqomah dan Kang Sutisna Rey. Dua anggota komunitas Tjiliwoeng yang tertera sebagai contact person dalam event Susur Sungai Ciliwung.

Sambil menunggu, saya mengisi waktu dengan berolahraga bareng Coach Devi Pasaribu dari Herbalife Nutrition. Yaaah, fun juga sih, buat yang sudah biasa gerak. Dan, memang nyatanya asyik nimbrung sehat. Lumayan buat nyegerin tubuh.

Olahraga di Taman Ekspresi Sempur


Singkat cerita, saya bertemu dengan teman-teman komunitas Tjiliwoeng, sekaligus berkenalan dengan beberapa anggota dari Jakarta Osoji Club.

Kemudian saya di fast briefing mengenai apa saja yang akan kami lakukan, kemana tujuan kami, dan apa hasilnya setelah seharian menyusuri Ciliwung.


Satu Alasan Ikut Lawatan Sungai Ciliwung, Yang Harus Kamu Punya

"Kenapa sih, pengen ikutan Susur Sungai Ciliwung? Karena sampahnya banyak, ya? Jadi, pengen ikutan bersih-bersih juga. Atau, cuma pengen main aja?"

Seperti dugaan saya, pasti pertanyaan ini bakalan ada. Walaupun begitu, saya sebenarnya belum menyiapkan jawaban politis apapun.


Jujur saja, saya tergoda memberikan jawaban, kalau saya mau gabung lawatan Sungai Ciliwung karena peduli lingkungan, seperti tujuan teman-teman Tjiliwoeng dan Jakarta Osoji Club.

Tapi, seandainya saja itu terjadi. Kalau saja, saya merespon seperti itu, bukan kah itu pertanda saya membohongi diri saya sendiri, ya? Padahal, banyak peluang untuk mengatakan bahwa saya tertarik ikut mulung sampah di Ciliwung.

Disambung berceloteh mengenai rasa prihatin, gara-gara Ciliwung kini sudah beralih fungsi menjadi penyalur sampah raksasa di Tatar Pasundan. Sehingga, mereka pun tertipu dan ngasih applause.

Alhamdulillah, saya beruntung, pertolongan Allah datang di saat yang tepat. Seketika saya teringat dengan kisah zaman Rasulullah, dimana salah satu tabiat orang-orang munafik adalah melakukan pencitraan (Q.S. Al-Baqarah: 9).

Itu sebabnya, saat itu saya menjawab apa adanya. "Pengen nostalgia aja, Kang. Sambil main." Mengecewakan, ya? Walaupun begitu, mudhorotnya lebih sedikit ketimbang mempolitisir tujuan.


Saatnya Menjenguk Bendungan Katulampa

Perjalanan pun dimulai. Akhirnya, hahaha!

Berangkat Dari Bendungan Katulampa


Sesuai briefing, kegiatan hari itu hanya menyusuri tepi Sungai Ciliwung. Rutenya dimulai dari Bendungan Katulampa, dan berakhir di Sumber Karya Indah (SKI).

Kami berjalan kaki sepanjang 2 km. Rasanya, jarang-jarang saya bisa diguyur vitamin D dengan cara seperti ini.

Terkadang, kami melintasi teras-teras rumah penduduk. Menebar senyum dan salam, dimana diyakini sebagai salah satu upaya sedekah paling hemat.

Terkadang pula, kami menyeberangi jembatan goyang setengah berkarat. Menyaksikan secara langsung majelis alam yang belakangan ini saya perhatikan melalui monitor.

Apa sih rasanya jadi relawan sungai?

Sepanjang jalan, rasa penasaran saya diobati dan diedukasi dengan perbincangan seputar kesehatan Si Cihaliwung. Ada juga, pengalaman para laskar karung saat meredam kemarahan sungai sepanjang 120 km tersebut.

Inilah mengapa, saya sadar betul, bahwa 3 jam perjalanan kami, sebenarnya sarat manfaat. Menyegarkan tubuh. Mengedukasi akhlak. Menjernihkan hati.

Foto Di Bendungan Katulampa


***
"Wahai guru, setelah hijrahku, semakin banyak aku jumpai orang-orang yang bertikai sebab keragaman khilafiyah. Mereka memperdebatkan sesuatu yang tidak perlu. Mencari siapa mengungguli siapa.

Wahai guru, benarkah jihad hanya bicara pertumpahan darah? Tolong nasehati diriku ini, Guru." Tanyaku dulu kepada beliau.

"SubhanAllah. Ananda, perbanyaklah dzikrullah, tegakkan dan khusyuklah dalam sholat, bersahabatlah dengan Al-Qur'an, eratkan tali silaturahim melalui sholat berjama'ah, sempatkan duduk di majelis-majelis ilmu dan dzikir, juga dekati orang-orang shaleh.

Biasakan mengerjakan amalan dimulai dari yang sederhana, dan paling dekat urusannya dengan kehidupan kita. Kendalikan hawa nafsu. Jaga lisan. Jaga hati. Tundukkan pandangan.

Sayangi makhluk-makhluk Allah dan lingkungan hidupnya karena Allah." Inilah sekelumit wasiat Sang Guru yang masih saya ingat dan berusaha diterapkan.
***



Miris! Ciwilung 2018 Masih Jadi Penyalur Sampah Raksasa Di Tatar Pasundan


Sesuai cerita saya di awal, saya termasuk remaja sungai. Rindu duduk-duduk di tepi kali. Mencelupkan jemari untuk sekedar merasakan aliran air menyapu buku-buku jari.

Sungai mengalir indah ke samudera


Sejenak kilas balik ke zaman Pak Harto. Dulu, setiap sepulang sekolah, saya kerap berjalan menyusuri tanggul Sungai Kalibaru. Menyempatkan meneduh di bawah pohon besar sambil makan sebungkus roti. Nyeruput seplastik teh manis. Leha-leha memandangi air terjun buatan.

20 tahun lalu, sampah-sampah yang hanyut di Sungai Kalibaru masih bisa dihitung dengan jari. Ketimbang melihat sampah, saya lebih sering menjumpai bapak-bapak memancing. Atau anak-anak seusia saya mandi bebek.

Masya Allah, sungai memang bukti hidupnya peradaban manusia.

"Seandainya air berhenti mengalir, dan tidak ada lagi transaksi pasar. Maka semuanya selesai sudah." Kata H. Chaerudin, jawara Betawi yang memperjuangkan wajah bersih Kali Pesanggrahan Ibu Kota Jakarta.

Di penghujung tahun 2017, saya disuguhi kisah sendu sedan versi laskar karung. Beberapanya terdengar satire, jadi bolehlah saya tertawa agar beban Sang pencerita berkurang.

Lawatan Sungai Ciliwung


Tahukah kamu? Sungai sepanjang 120 km ini, memiliki 44 titik sampah yang bisa kita jumpai dari hulu hingga perbatasan Kabupaten Bogor. Dan setiap bulannya, selalu terbentuk meeting points baru.

Parahnya, area hulu Sungai Ciliwung 2018 kini semakin sempit. Dan terus dipersempit seiring bertambahnya jumlah penduduk. Sampai-sampai lebarnya tidak mencapai 2 meter. Pun polusi limbah rumah tangga sudah dimulai dari titik ini.


Berkali-kali emosi saya dinetralkan melalui upaya mentoleransi perbuatan masyarakat yang gemar membuang sampah ke kali. Penduduk-penduduk setempat melakukannya karena terpaksa.

Tidak ada ruang lain lagi untuk dijadikan tempat pembuangan akhir. Satu-satunya opsi adalah berharap aliran sungai akan menenggelamkannya di lautan lepas. Sayang, ekspektasi tidak berjalan sesuai realita.

Jika ya, membuang sampah di sungai sudah menjadi kebiasaan turun temurun, sejak zaman nenek moyang mereka. Semestinya, kita sebagai generasi perberadaban maju, tidak boleh melestarikan perilaku yang sudah tidak relevan lagi.

Kalau saja Sungai Ciliwung tetap menyandang predikat penyalur sampah raksasa dalam 10 atau 20 tahun ke depan, mungkinkah kita masih bisa menikmati eksotisme batang air?


Mengalami serunya memancing dan menjala ikan asli sungai Ciliwung. Mendirikan kemah-kemah bersama keluarga ala Jumanji. Menyambut hadirnya orkestra buana, sambil sesekali dibius alunan instrumen bumi dan langit.

Atau, justru anak cucu kita kelak akan rafting ditemani genangan sampah? Mengeluhkan kesehatan air yang diam-diam bersahabat dengan patogen misterius. Menganggap keceriaan kita sekarang sebagai hoax, dongeng, dan fantasi orang-orang idealis.

Sedih rasanya, membayangkan sambil mendengar curahan hati teman-teman komunitas Tjiliwoeng. Apalagi disertai dengan fakta-fakta dan berita terkini. Semua yang saya dengar, membuat saya banyak merenung. Alhasil, saya membutuh waktu lebih lama untuk merampungkan artikel ini.

Sumber Karya Indah Bogor


Btw, saya melihat perilaku menarik pas lagi jalan bareng komunitas Tjiliwoeng dan Jakarta Osoji Club. Waktu itu, saya secara spontan mungutin beberapa sampah di jalanan yang kami lalui bersama. Hanya gara-gara kepengen main detektif-detektifan seorang diri.

Dimulai dari mengamati tempat kejadian perkara. Menganalisa secara sistematis. Akhirnya, membuat random deduksi yang dibarengi setengah su'udzon, setengah husnudzon.

Tapi di tengah-tengah kesenangan tersebut, saya melihat 2-4 orang dari Jakarta Osoji Club dan Tjiliwoeng ikut mungut-mungutin sampah yang berserakan di jalan.

Waktu itu saya ngerasa, "wow! Osoji dan Tjiliwoeng, kalian keren banget." Gila! Di saat saya melakukan ini untuk sekedar bermain dengan logika dan intuisi.

Mereka rela mengotori jemari mulus itu demi menerapkan semboyan 'Malu Buang Sampah Sembarangan' di kaos hijaunya.

Jakarta Osoji Club


Seketika saya berdecak kagum sambil mbatin, "Masya Allah. Luar biasa. Pagi ini saya bertemu banyak orang baik. Semoga dicatat sebagai satu kebaikan, satu pahala, dan satu sedekah ya."

Ing ngarso sungtulodo.
Ing madyo mangun karso.
Tut wuri handayani.

Di depan, memberi teladan yang baik. Berada di tengah, membangkitkan semangat. Dari belakang, memberi dorongan.

Pada dasarnya, semua yang saya tulis ini, sekedar sharing belaka, sekaligus mengapresiasi kepedulian anak muda zaman now.

Komentar