Alkisah Sepotong Alkisah



Malam yang berdenyut mengiringi detak detik jam dinding bulat menggelantung, membelakangi pemilik rumah. Seakan setiap rimanya tidak hanya sekedar waktu. Seakan setiap iramanya bukan lagi bicara cara melewati masa. Lantas, apa yang diketahui jam dinding itu?

Tidak ada! Ketika semua salah mengira, atau mungkin saja benar pada prasangka, jam dinding itu akan tetap bergerak menunjuk angka-angka. Pedulinya bukan lagi tentang siapa, apa, mengapa, atau bagaimana. Utamanya bukanlah perkara kapan dan dimana. Melainkan untuk Ya atau Tidak. Juga untuk Sudah atau Belum.

Apa pemilik rumah tahu kelakuan jam dinding tadi?

Bisa jadi, Ya, dia tahu. Tapi, bukankah dia hanya manusia? Manusia yang kerap kali mengabaikan apa yang dia tahu. Manusia yang acap kali tutup mata, tutup telinga. Kadang pun dia tutup mulut, hingga beranikan diri untuk mencoba mematikan rasa pada setiap indera. Dan...

Aha! Dia juga manusia yang senang sok tahu. Walau, sewaktu-waktu dia memang benar-benar tahu tentang apa saja yang tersembunyi, juga yang sesekali tersembul dari balik bantalan sofa. Hanya saja, sosok lemah dan tiada dayanya menggiring menuju keprimitivan esensi. Kejahiliyan tindak-tanduk pada zaman emas.

Jadi, bagaimana bisa sang pemilik rumah bersahabat dengan jam dinding bulat tersebut? Sedangkan dia masih saja berdiri di tengah ruangan. Memandangi jendela tertutup kerai kuning. Pun tingkah jam dinding yang setia pada alur hidupnya sendiri, yaitu tetap berputar dan memutar sambil menunjuk-nunjuk, menjadikan jam dinding tersebut tak jemu menuding.

Inilah alkisah hidup makhluk-makhluk rumah. Menebar cerita untuk didengar pemirsa. Menggenggam pesona untuk dirinya sendiri. Dengan sekuat daya. Seiring upaya. Serapuh nestapa. Seabadi gulita. Sekilat cahaya.

Hidupnya, juga hidup mereka, mestilah hangus tanpa sesuatu.

Matinya, dan mungkin mati mereka, hanyut hingga ke lepas samudera semesta lima mahkota, pula karena sesuatu.

Siapa peduli?

Benar! Siapa peduli.

.......

Akan tetapi, melalui sela-sela kebisingan hati ini, bolehkah aku mengacungkan jari? Karena aku ingin peduli. Masih ingin peduli. Walau entah kapan masa peduli itu akan usai. Laksana kisah ini yang perlahan mulai tertutup, kemudian beranjak usang.

Jangan terlalu lama. Jangan membuat sang pemilik rumah menunggu terlalu lama menanti masa bertamu. Karena temannya yang mengetik ini ingin mendengar langkah kaki yang mengantar enam buah nama berbahagia agar doa semoga berbahagia bisa ikut pulang bersama Sang pengantar nama.

Komentar