Saya Pun Sami'na Wa Atho'na, Guru!

Sami'na wa atho'na, kami dengar dan taat
Image by studiodiy.com. Edited my Mew da Vinci

Alhamdulillah!

Alhamdulillah karena guru-guru saya sudah kembali, hihihi... Ya Allah... Saya sampai gak bisa berkata-kata saking senangnya.

Tadinya saya kira, antara saya dengan guru-guru saya sudah habis masanya sejak 12 Juni 2014 lalu, karena saat itu... Ah, sudahlah kenangan pahit hiks...

Entah apa yang membuat para guru kembali, tapi masih sama seperti dulu, para guru datang dan mengulurkan tangannya saat saya benar-benar sadar hanya Allah yang saya punya.

Tapi sekembalinya guru-guru pun, ternyata bawa oleh-oleh unik...

Kata Guru melalui telepon, "hati ananda yang lagi kosong-melompong ini harus segera diisi oleh kami dan orangtua kandung ananda sebelum keduluan pemuda yang akan merusaknya... Lagi... Hehe..."

Saya hanya bisa ikutan bilang "iya Guru, hehe..."

"Ananda, sekarang sedang dekat dengan siapa?" Tanya Guru. Suara Guru pelan sekali, hampir tidak terdengar.

"Tidak ada someone special Guru..."

"Hmm... Ya, alhamdulillah... Tapi, ananda punya sahabat pria?"

Saya re-call memori saya sejenak, "tidak ada, Guru.

Tapi, memang ada yang Lutfi anggap sudah seperti orangtua Lutfi. Kalau yang seperti itu, gak apa-apa kan, Guru?"

Akhirnya, Guru menasehati, "Tidak apa-apa, jika dia pun menganggap ananda sebagai puterinya.

Tapi kalau tidak sinkron, apalagi mengklaim kakak atau adik-adikkan, sebaiknya berteman saja ya, nak.

Dulu ananda terjeratnya pun melalui celah persahabatan, sayangnya ananda terpesona...

Selain itu, ananda salah karena memilih dia, yang hati dan perangainya tidak baik, sebagai sahabat ananda.

Tapi, Guru yakin, ananda sekarang sudah lebih banyak memahami maksud kami-kami ini kenapa dulu melarang ananda, dan lebih banyak bertaubat...

Alhamdulillah akal ananda sudah kembali. Semoga Allah senantiasa memelihara iman ananda."

"Iya, Guru..." Air mata saya mengucur begitu saja, "maafin Lutfi ya, Guru...?"

"Iya, nak..."

"Guru... Maafin Lutfi ya...?" Saya mengulangi kembali.

"Iya, nak... Guru dan para Guru lainnya, serta kawan-kawan belajar ananda di sini sudah memaafkan ananda. Maafkan kami juga, ya nak?"

Saya menyeka air mata saya sambil mengangguk. Saya sadar betul Guru tidak melihat anggukkan atau gelengan kepala saya, karena kami berbicara lewat telepon.

Tapi, saya yakin, Guru bisa merasakan bahasa yang tidak terbahasakan secara lisan.

"Ananda..." Panggil Guru, "saat dulu Guru menyarankan agar ananda minta maaf kepada orang-orang yang ananda pernah sakiti, apa sudah ananda lakukan?"

"Iya..."

"Termasuk yang itu?"

"Siapa...?"

Guru terdiam. Saya pun segera mengerti maksudnya, "iya," jawab saya singkat.

"Dia dan orangtuanya bilang apa, nak?"

"Katanya tidak perlu maaf... Karena Lutfi tidak salah..."

"Wah, apa artinya ya, nak? Hehe..."

Saya diam. Guru pun terdiam.

Alhamdulillah...

Image by Mardimar Devian Art


"Ananda," panggil Guru lagi, "Guru sempat membaca beberapa tulisan terbaru ananda. Ada yang bagus, tapi ada juga yang tidak pantas ananda tulis dan utarakan."

"Yang mana, Guru?"

Guru memberi jeda sejenak sebelum menjawab pertanyaan saya. Kemudian katanya, "kalau Guru sebutkan, ananda bersedia hapus dan bertekad tidak akan menulis hal-hal seperti itu lagi?"

"Kenapa...?" Tanya saya lirih.

"Banyak mudhorotnya daripada manfaatnya, nak..." Jawab Guru singkat, "

Sebaiknya ananda belajar menahan jemari ananda untuk tidak mengutarakan hal-hal seperti itu lagi, agar pertanggung-jawaban ananda di akhirat nanti menjadi lebih ringan...

Kalau yang sudah terlajur tertulis dan tersebar, sebaiknya ananda upayakan untuk dihapus..."

"Guru..." Mendengar guru saya mengatakan itu, seakan-akan ada gundukan besar di hati saya, sampai wajah saya agak manyun.

"Kalau seseorang itu mukmin, ketika nama Allah disebut, dia gemetar. Ketika dia diingatkan tentang akhiratnya, maka jawabannya, sami'na wa atho'na.

Kalau ananda bagaimana...?"

"Iya Guru... Sami'na..." Saya diam sejenak... "Sami'na... Hmm... Iya, Guru, Lutfi juga sami'na... Hmm..."

"Sami'na wa atho'na, kan nak?"

Sesaat bulu kuduk saya bergidik, saya segera memperbaiki ucapan saya, "Iya, Guru. Sami'na wa atho'na."

Komentar