Tuhan Saja Golput

JEDDEEEERRRRRR!!!

Entah bagaimana mengutarakan perasaan saya ketika disuguhi kalimat semacam itu. Iya, kalimat yang jadi judul postingan ini. Kalau dipersonifikasikan ya mirip-mirip denger geledek yang nyamber kemana-mana. Hanya sebatas dengar ya? Bukan seperti kesamber geledek. Karena bentuk pengandaian dalam tata bahasa Indonesia memang cenderung lebay dan... Gak logis.

I am shocked!
Photo by lolset.com
Sebelum mampir ke pokok pemasalahan, mari saya ajak kamu untuk mengingat kembali serangkaian majas tidak realistis yang umumnya diawali dengan kata-kata "rasanya seperti...": "Disamber geledek", "diseruduk badak", "ditusuk dari belakang", atau "diinjek gajah".

Idealnya, Sang pengias mesti pernah ngalami yang namanya disamber geledek, atau minimal diinjek gajah. Namun, realita berkata lain.

Bagi saya, seseorang yang tidak pernah mengalami atau hanya bisa ikut membayangkan pedihnya suatu peristiwa, hanya melakukan pemaparan kosong semacam kalau diinjek gajah bakalan bikin tulang remuk. Dan, rasanya tulang remuk itu ya... Pasti sakit, perih, cenat-cenut...

Tapi, pernahkah kamu kesamber geledek betulan?

Saya serius!



Walau pertanyaan saya tampak konyol, tapi saya memang serius. Rasanya gak kuasa membayangkan, ketika ada orang yang beneran pernah kesamber geledek membaca pertanyaan saya tersebut, lantas dia bakalan balas melalui komentar di bawah postingan: Sudah pernah, Mew. Rasanya atiiit... Trus, habis ngetik gitu, dia nyengir kuda.

Okay! Then, kembali ke topik.

Mendengar minoritas teman-teman saya memilih bergabung dengan Golongan Putih (Golput) membuat saya berpikir: Perlukah menyadarkan pemimpin atau calonnya dengan bersikukuh tidak memilih mereka? Apakah memilih Golput merupakan bentuk kehati-hatian atau peringatan?

Jika kepedulian mereka terhadap bangsa dan negara ditunjukkan dengan cara memilih untuk tidak memilih karena merasa didzolimi, maka perlukah kehati-hatian itu? Lantas, jika mereka berani memilih untuk tidak memilih... Sekali lagi saya ulangi, jika mereka berani memilih untuk tidak memilih... Apakah ada kandidat yang mereka usung agar tidak lagi Golput?

Atau... Mudahnya, adakah sosok di Bangsa Indonesia ini, yang memenuhi kriteria mereka?

Maaf, saya blak-blakan saja ya. Karena semakin lama, persentase Golput semakin meningkat, dari yang sebelumnya di tahun 2009 berada pada kisaran 16 persen. Sekarang, malah menjadi 25 persen. Alasannya, tidak kenal kandidat atau calon pemimpin mereka.

Begitukah alasan dari generasi yang katanya cerdas? Tidak kenal. Tidak tahu. Tidak peduli.

Ada yang berpendapat, memilih opsi Golput merupakan bentuk kehati-hatian atau mawas diri. Itulah upaya agar tidak terjebak dalam pemaksaan hati nurani. Orang-orang Golput hanya melaksanakan saran untuk memilih sesuai hati nurani. Dan, hati nurani mereka memilih untuk Golput. Bukankah memilih pemimpin seperti memilih pembantu rumah tangga? Dari sekian banyak pilihan calon pembantu rumah tangga, tentulah sebagai majikan harus pandai menyeleksi. Kalau suka dan cocok, tinggal mengurus ke yayasan. Kalau tidak suka, ya tidak dipilih. Lalu, gimana kalau gak ada yang suka dan gak ada yang pas di hati semua? Bersediakah orang-orang Golput untuk terus menunda, sedangkan kondisi urgent?

Jika ditarik kembali kepada konteks Golput saat pemilu, maka sudah bisa diperkirakan bahwa orang-orang Golput secara moral tidak bertanggung jawab atas keterpurukan bangsa, karena dulu mereka tidak memilih siapa-siapa. Istilahnya: Nothing to lose.

Tapi sadarkah kamu?

There's no time for Golput
Photo by untungkasirin.wordpress
Memilih untuk tidak memilih, alias Golput, merupakan tindakan pengecut. Si Golput hanya memimpikan perubahan tanpa melakukan apa-apa saat diberikan kesempatan melalui pemilu. Orang-orang Golput merelakan dirnya tenggelam dalam egoisme, pola pikir yang primitif, ketidak-pedulian terhadap bibit kebobrokan negara, keangkuhan untuk mengenali calon pemimpinnya, dan kesenangan mencela pemimpin yang terpilih, bahkan menertawakan para pemilih.

Adalah suatu hal yang konyol ketika melihat orang-orang Golput menertawakan kekecewaan para pemilih atas pemimpin terpilih. Adalah suatu hal yang tidak rasionalis-realistis ketika menyaksikan orang-orang Golput membanggakan dirinya menjadi pemilih yang enggan memilih. Adalah suatu hal yang ndablek dan koplak ketika menyaksikan orang-orang Golput mendambakan pemimpin yang mampu membawa perubahan lebih baik, sedangkan berkali-kali secara tidak sadar mereka masih-tetap-terus mendoakan calon pemimpin negeri ini sebagai pemimpin yang bobrok. Bagaimana bisa?

Bagaimanapun juga, pemilih yang memberikan suaranya saat pemilu menunjukkan bahwa dia sudah berusaha, meskipun mungkin saja orang yang dipilihnya melakukan wanprestasi saat menjabat. Namun, hal tersebut di luar kuasa pemilihnya. Pemilih yang memang memilih pemimpinnya berharap pemimpin tersebut melakukan tugasnya dengan baik dan maksimal. Pemilih yang berani menggunakan haknya dalam forum sah penentuan pemimpin negeri, meyakini bahwa ada peran Tuhan dalam hal itu.

Mereka yang bukan Golput, walau hanya terjadi sekali --yaitu saat pemilu, bersedia mendoakan negerinya semoga Dia berkenan membantu calon pilihannya itu untuk berubah ke arah yang baik.

Komentar

  1. Yups setiap yg mengikuti pemilu pasti pada dasarnya punya sebuah doa dan harapan agar bangsa ini menjagi lebih baik. doa dan harapan yg di wujudkan dalam tindakan akan lebih baik daripada hanya berupa harapan saja :). Komport gas mew

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahaha.. iya mas alienbumi..
      terima kasih atas kunjungannya... :-d

      Hapus
  2. Balasan
    1. ahahaha.... :-d
      statusmu memang menginspirasi mas rono :-d

      Hapus
  3. blogger juga terkena dampak pemilu, tulisannya seputar golput wkwk :D

    BalasHapus
  4. argumennya bagus sekali
    say no to golput

    BalasHapus
  5. Saya sudah tidak peduli lagi dengan PELIMU karena banyaknya pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi tanpa ada upaya perbaikan dari semua pihak :v

    BalasHapus

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?