Gurihnya Rempeyek Laron Di Musim Hujan

Horeeee! Musim hujan akhirnya tiba. Yaaay! Yippieee... Woohooooo.....

Iya iya... Musim hujan di Bogor, yang notabene mau musim apapun tetap saja ngerasain hujan minimal seminggu sekali. Jadi, perlu keahlian khusus untuk benar-benar tahu sinyal perubahan musim.

Kopassus Laron!
Photo by oneklickops.blogspot
Setelah melewati siang asyik nangkepin capung di lapangan bola seharian. Tiba juga malam-malam penyerbuan Kopassus Laron. Yups! Jika saat itu tiba, maka saya dan sepasukan ember beserta komandan gayung berisi seliter air, mesti bersiap untuk menciptakan ilusi demi ilusi.

Lumayan lah dapat hiburan malam. Ada rasa krenyes-krenyes dalam hati saat saya ngelihat adegan silent kill terhadap laron-laron tersebut, dimana laron-laron menggeliat di permukaan air hingga akhirnya mati. Rasakan kerenyahan tiada akhir di setiap gigitan rempeyek laron.

//--Gayaku rek! Niru-niru iklan wafer...

By the way... Ngomong-ngomong... Zamannya saya masih berumah di Yogyakarta, waktu itu saya masih kecil. Kira-kira kisaran umur mau masuk SD. Saya sekeluarga main ke rumah Yuknem di Bantul. Beliau adalah pengasuh saya dan Mbak Yaya selama hampir 22 tahun. Hari itu pertama kalinya saya main ke pedesaan Yogyakarta. Sebagaimana sebuah pedesaan, tentulah tergambar suasana old vintage.



Sore-sore main ke rumah Yuknem emang asik. Bisa ngemil kacang sambil lari-larian di tepian sawah. Lalu ngelihatin orang ngangon bebek. Perjalanan yang lumayan jauh dan menguras tenaga, membuat saya, Mbak Yaya, mama, dan abah menginap di rumah Yuknem. Saat itu, Simbok, ibunya Yuknem masih berusia 60 tahunan. Setelah puas bermain seharian, saatnya tidur.

"Dhian" or it can be called as Lampu Teplok
Photo by fotografindo.com
Pergantian musim dari musim panas ke musim hujan menjadikan konsentrasi tidur saya terganggu. Serangga-serangga pada keluar rumah buat party. Serangga dengan serangan ter-massive di musim hujan adalah laron! Sekompi Kopassus Laron menyerang lampu ruangan yang masih nyala. Uniknya, laron-laron itu gemar menabrakkan diri mereka ke lampu-lampu tersebut sampai sayapnya rontok. Tentu saja menggelikan ketika salah satu Kopassus Laron merambat ke tangan atau kaki saya. Apalagi kalau tiba-tiba mereka nemplok di kepala lalu main seluncuran di antara rambut. Plus menggelayuti telinga. Hiiiy...!

Ketika saya sibuk mengusir kerumunan laron dari lampu-lampu, Simbah menaruh ember berisi air di tiap pojok ruangan. Satu ember di ruang tengah. Satu ember di dapur. Satu lagi di kamar mandi. Dan sisa-sisa ember lainnya di kamar tidur. Masing-masing ember di kasih lampu teplok, atau disebut juga sebagai "dhian". Setelah lampu-lampu teplok itu dinyalakan, Simbah segera mematikan lampu yang pakai aliran listrik. Saat itu, se-ndeso-ndesonya Bantul, bukan berarti listrik belum masuk desa. Entahlah kalau sekarang, mungkin internet sudah menjajah Bantul. Sesudahnya, saya ditawari Simbah melanjutkan tidur.

Waktu itu, saya tidurnya gak sekamar bareng mama dan abah. Mbak Yaya pun tidur entah di kamar yang mana. Lalu, saya tidur dimana? Saya tidur dikeloni Simbah. Kamar Simbah ada tudung nyamuknya, jadi berasa dikarungin. Udara malam di Bantul terasa dingin cool ice. Karena Simbah gak punya selimut, akhirnya saya dipinjemi jariknya Simbah. Jarik merupakan kain batik panjang dan lebar yang biasa dipakai sebagai gantinya sarung. Karakteristik jarik adalah kalau dipakai bikin kulit ngerasa adem.

Rempeyek laron
Photo by chingukoreaaa.blogspot
Saya memang termasuk anak yang aktif mengamati lingkungan sekitar biarpun gayanya kalem-kalem anteng. Di pojokan kamar, tepat di balik pintu, Simbah naruh ranjau laronnya di situ. Mungkin simbah kehabisan ember, jadinya Simbah menggunakan nampan sebagai gantinya ember. Seingat saya, nampan tersebut diisi air sedalam dua buku-buku jari telunjuk. Di tengah-tengah nampan ditaruh lampu teplok. Seperti pemaparan saya sebelumnya, Kopassus Laron tersebut ngadain party di sekitar lampu teplok. Mereka terbang dan dengan sengaja menabrakkan diri mereka. Ketika sayap-sayap mereka putus, otomatis mereka terjun bebas dan tenggelam ke waduk mini versi Simbah.

Mengamati aksi Kopassus Laron tersebut membuat saya kian mengantuk. Tidak butuh hitungan menit hingga puluhan, saya sudah ketiduran.

Pagi harinya saya pun bangun, dan mendapati Mbak Yaya lagi asik ngemil rempeyek. Mata saya yang masih belekan --maksudnya banyak kotoran mata, menjadikan pandangan saya agak buram, apalagi ketika ngelihat rempeyek tersebut seperti rempeyek kacang umumnya. Gigitan pertama, bikin saya ketagihan. Rasanya gurih walau menyerbakkan aroma amis di mulut. Gigitan kedua saya takjub karena badan laron, yang saya kira kacang, terasa kriuk-kriuk, clekat-clekit, dan gak keras seperti kacang goreng. Gigitan ketiga, kenikmatannya memaksa saya untuk mengamati jenis kacang yang saya makan. Menjelang gigitan keempat...

Innalillah! Gubrakkk... Saya akhirnya sadar juga, kalau sedari tadi saya lagi makani laron yang diolah menjadi rempeyek. Awalnya geli sampai merinding. Tapi, berhubung perut lapar dan rempeyek laronnya pun enak, akhirnya saya lanjutkan makan. Malahan saya jadi yang paling rakus ngehabisin setoples besar rempeyek laron buatan Simbah.

Hmm... Lezzaaaaattt...

Komentar

  1. Balasan
    1. iya mbak.. sekilas emang mirip-mirip gitu deh...
      cuma kalau diamati lebih lama, jadi tampak jelas belang-belang si laron :-d

      Hapus
    2. hmmm,,,mungkin kalo aku nggak kolu makannya mbak,,mending maem rempeyek udang saja,,lebih nikmat :)

      Hapus
  2. Saya geli mba sama laron..duuuuh apalagi kalau di makan yaa..duuuuh..

    BalasHapus
  3. Waduh agak ngeri lihatnya tapi pensaran juga sama rasanya,,, dulu pernah makan belalang yang ada di sawah bibirnya malah bengkak hehhehee :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?