Mengungkap Identitas Melalui Karya Seni

Postingan saya kali ini dibuka dengan kata: Mungkin.

Kata "mungkin", merupakan suatu spekulasi tanpa arti, dengan seni dramatikal, ditaburi bumbu praduga separuh imajinatif. Apalagi, ketika menanggapi buah karya para novelis dan sutradara, pada umumnya.

If you can't face your reality, then dream it!
Photo by opera.com/Muralyyy


Sejak kecil, imajinasi saya sudah dicekoki oleh kisah-kisah inspiratif Bangsa Eropa hingga Timur Tengah. Tanpa terkecuali, legenda-legenda ajaib Bangsa Indonesia.

Saya masih ingat tentang Legenda Putri Duyung.

Dikisahkan pada zaman tak terhitung waktu, seorang putri duyung cantik jelita dan multi-talenta, menolong salah seorang awak kapal yang ditenggelamkan oleh badai. Cinta pada pandangan pertama melarutkannya dalam rasa dan impian romantika berujung nestapa. Setidaknya, sebagai menu awal yang dihidangkan oleh koki cinta, menyajikan kelezatan tak terkira. Saat itu, Sang Putri duyung merasa bahwa dia telah menemukan pemilik hatinya.



Namun, begitulah wanita. Maka, dia rela mengorban asset hidup paling berharga, yaitu rumah dan identitas. Hanya demi melebur dengan Sang fana. Perjalanan cinta Sang putri duyung pun, berakhir secara mengenaskan. Dia berubah menjadi buih-buih di lautan, tanpa pernah dikenang, bahkan dikenali oleh pangeran tersebut. Harapannya menjadi kosong belaka. Angan-angan percuma yang dibawa oleh makhluk bernama pria.

Mungkin... Memang begitulah wanita.

Berbeda dengan kisah putri-putri lainnya, seperti Rapunzel, Snow White, Cinderella, Aurora, dan Odette. Legenda menjamin akhir kisah bahagia untuk kelima putri beruntung tersebut. Walaupun, perih harus dilalui. Berharap tanpa henti. Perjuangan sepenuh hati. Seolah-olah, dan memang itulah kisah mereka ditutup: Takdir mereka adalah menikah dan hidup bahagia bersama pangeran tercinta.

Benarkah lika-liku cinta seharusnya demikian? Sesuai penuturan para penulis zaman.

Bukan rahasia jika sesungguhnya kisah-kisah inspiratif semacam itu, merupakan hasil pemikiran mendalam Sang pembawa cerita. Legenda hanya berubah berdasarkan masa dan kemurnian peristiwa, yang merenggut setiap jiwa Sang pembawa cerita.

Sederhana saja:
"Berubahnya adegan pada suatu kisah, ditentukan oleh siapa yang mendongeng."

Tatkala seseorang mengisahkan suatu era atau zaman. Apapun bentuknya. Siapapun objeknya. Baik disadari, maupun tidak. Setiap penggalan adegan, merupakan bagian dari diri Sang pencerita, yang tertuang ke dalam susunan frasa dan metafora.

Ada bagian yang disebut sebagai... Pengalaman.

Pada bagian yang lain dikenal sebagai... Impian.

Untuk bagian lainnya disebut sebagai... Kecemasan.

Sedangkan, sisanya merupakan... Hasrat.

Bagian-bagian tersebut terangkum dalam karya visual-spasial. Tujuan utamanya adalah mengungkapkan identitas sejati atas nama kebebasan berekspresi.

Inilah alenia, dimana saya akan mengajak kamu merenungkan suatu hal secara lebih mendalam, yaitu:
"Sang pencerita selalu menyampaikan hasrat terpendamnya. Sesuatu yang sangat ingin dia lakukan, tapi tidak bisa diwujudkan karena terbelenggu norma, prinsip, atau citra sosial yang melekat."

Mari menarik garis pada film Batman, SpiderMan, The Incredibles, Fantastic 4, UltraMan, Kamen Raider, Power Ranger, Saras 007, dan film-film super hero lainnya. Walaupun penyajiannya berbeda, tetapi film semacam itu memiliki ritme yang serupa, yaitu:
"Muncul musuh yang ingin menguasai dunia, negara, atau kota. Polisi sudah kewalahan menangani banyaknya aksi kriminal. Masyarakat dicekik ketakutan. Sehingga, semua itu melahirkan karakter pahlawan super yang rela menyelamatkan mereka. Tanpa pamrih. Gratis! Plus, misterius..."

Mudah saja. Sang penulis cerita, sejatinya ingin menjadi pahlawan dalam cerita fiksi tersebut. Selain itu, dia bosan dengan kejahatan yang itu-itu saja. Dia memandang segala aksi yang didengar dan dilihatnya melalui media, terkesan: Monoton, kurang greget, gak menggigit, standard, semua orang bisa melakukan itu, dan gak spesial.

Hal senasib juga dialami oleh film-film lainnya. Mari melirik film "Soekarno" garapan sutradara Hanung Bramantyo. Sekedar merefresh memori bahwa film "Soekarno" diprotes bahkan dikecam oleh anak-anak Mantan Presiden Republik Indonesia, Soekarno. Mereka menuntut film "Soekarno" tidak ditayangkan kembali karena tidak sesuai dengan realita.

Wajar saja. Karena semua kembali pada jiwa Sang pendongeng, yaitu Hanung Bramantyo.

Digambarkan sosok Soekarno sangat mencitrakan "Suami Takut Istri (STI)". Coba lihat bagaimana Soekarno begitu lemah menghadapi istri pertamanya. Ada adegan lempar piring, gelas, garpu, teko... Sedangkan, Soekarno hanya bisa lari tunggang-langgang menghadapi kemarahan Sang istri.

Bisa jadi, Hanung Bramantyo sebenarnya berhasrat untuk menikah lagi. Tapi, niat tersebut selalu diurungkan setiap kali membayangkan betapa marah istrinya. Dilema dan konflik dalam prediksi menggerus nyali. Bagaimana harus meredam emosi Sang istri? Haruskah dia lari sampai kebirit-birit? Atau, diam di tempat, membatu, terpaku, bahkan pasrah diperlakukan bagaimana saja?

Sama halnya dengan film "Killers" garapan Mo Brothers.

Dengan cerdiknya dia mengaitkan film "Killers" dengan filosofi Id, Ego, dan Super ego. Ditambah lagi, seenaknya saja Mo Brothers membubuhi slogan: Inside us lives a killer. Sehingga media menerjemahkan kata "us" sebagai "every one". Saya rasa, lebih tepatnya adalah: ATTENTION! Inside me lives a killer. Atau pengerti "us" adalah Mo Brothers itu sendiri.

Memang dasar film Indonesia. Kalau gak ada adegan sexy atau sex, rasanya belum mantap. Padahal, tidak ada korelasinya sama sekali.

Mungkin... Cuplikan gak mutu itu, merupakan bagian dari hasrat pak sutradara yang tersirat. Perpaduan dua jenis penyimpangan seksual (parafilia), yaitu Voyeurisme dan Sadomakisme. Disebabkan oleh belenggu moral dan hukum adat di Indonesia, maka sutradara sekelas Mo Brothers hanya bisa menyalurkan melalui mata kamera. Memang naas berujung fitnah paling efektif, karena penyakit penyimpangan seksual tersebut berpotensi menulari pemirsa melalui karya.

Komentar