Wiranto, Jendral Becak Yang Kromo Inggil

"Kalau jenderal jadi tukang becak... 
Gubernur jadi tukang becak... 
Pengusaha jadi tukang becak... 
Pedangdut jadi tukang becak... 
Sampai diva seksi kelas model majalah pria dewasa pun, jadi tukang becak... 
Lalu, tukang becak jadi apa?"

Hampir saja, suara rakyat jelata ditenggelamkan ke dalam gemah-ripah-riuh-redam recehan rupiah dari panji-panji partai politik yang memikat. Wajar saja, jika fenomena malaikat-malaikat dadakan produk televisi sanggup membuat saya, salah satu rakyat jelata kelas pinggiran, merasa bahagia hingga sujud syukur kepada Gusti Allah. Walaupun, keajaiban tersebut hanya terjadi selama pemilu. Sepanjang pesta kaderisasi.


WIN-HT, can we believe?
Photo by kaskus.co.id
Gaya cendikiawan politik dalam menyosialiasikan partai-partai mereka benar-benar menyihir saya. Apalagi, setiap kali layar televisi saya hidup, dia selalu bicara tentang masa depan gemilang yang segera direngkuh melalui tangan-tangan calon legislatif berdasi dan berjas mentereng.

Mari kita lihat bersama betapa royalnya bapak-bapak WIN-HT, yang mengaku selalu mengedepankan kepentingan rakyat, rela menggelar acara kuis dengan hadiah jutaan rupiah, hanya untuk menyejahterakan mahasiswa dan para staff pendidik berotak cemerlang, melalui "Kuis Cerdas" bertajuk "Kebangsaan". Yaitu, acara kuis di Global TV, yang bersedia menghadiahkan sebesar satu juta rupiah kepada setiap peneleponnya.

Coba kita hitung bersama...

Seandainya, setiap hari "Kuis Cerdas" sanggup menerima peserta sebanyak 3 orang. Kemudian, "Kuis Cerdas" masih tetap tayang minimal hingga akhir Desember 2014. Maka, jika dihitung mulai hari ini, tanggal 20 Februari 2014, total pengeluaran duet maut WIN-HT adalah senilai Rp 924.000.000,- atau terbilang Sembilan ratus dua puluh empat juta rupiah.

Luar biasa! Semoga Gusti Allah meluruskan niat Bapak Wiranto dan Bapak Hari Tanoesoedibjo untuk sepenuhnya mengabdi kepada Bangsa Indonesia berserta rakyatnya. Agar pemilu maupun bukan pemilu, program bagi-bagi rejeki akan terus berlangsung. Sehingga, mereka terhindar dari fitnah, apalagi tudingan "Pencitraan".

Sekedar informasi bahwa ini bukan pertama kalinya WIN-HT menggelar acara bagi-bagi rejeki di televisi. Pada bulan Oktober 2013, WIN-HT pernah menggelar acara kuis bernama, "Kuis Kebangsaan" yang tayang setiap hari di RCTI. Namun, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tiba-tiba muncul dan menghentikan penyiaran setelah acara kuis tersebut berjalan hampir dua bulan. Penegak hukum selalu muncul di saat yang tepat. Yaitu, tepat ketika tabungan WIN-HT menipis dan program politik WIN-HT mulai mendapat simpati rakyat. Biasanya, skenario politik memang begitu.

Lain program, lain strategi. WIN-HT benar-benar bersemangat menampilkan keseriusan dan ambisi mereka untuk memimpin negeri dengan menyuguhi mata rakyat melalui hidangan menggiurkan, --atau menggemaskan?

Program blusukan ke kampung-kampung bertajuk, "Jika WIN-HT menjadi..." mendapat cemoohan rakyat yang berasal dari golongan berpendidikan tinggi. Yang katanya, mereka paham betul seluk-beluk polemik politik. Atau, paling tidak, mereka sudah menjejali otaknya dengan pemikiran super kritis.

Naas!

Street Kamen Raider Indonesia
Photo of tribunnews.com
Hanya karena Pak Wiranto rela bermetamorfosa dari seorang jenderal menjadi tukang becak, bukan berarti pantas dicela. Saya rasa, segala hal saat moment pemilu akan selalu mendapatkan nilai negatif.

Ketika capres-cawapres diam saja dan hanya sekedar beriklan di televisi. Mereka dibilangi gak perhatian kepada rakyat. Akhirnya, dituntut pula untuk bagi-bagi rejeki, setidaknya selama pemilu. Kalau hanya sekedar label tidak perhatian, bisa jadi tidak mengapa. Tapi, lalu rakyat mengait-ngaitkan dengan guyonan, "Caleg medit, ke laut saja!"

Ada lagi yang lebih ngawur. Ketika ada capres-cawapres royal bersedia bagi-bagi rejeki. Malah dibilangi "menyuap rakyat" atau "membeli suara rakyat". Lha?! Apa ya memang harga diri rakyat semurah itu? Sehingga, suaranya hanya dihargai kisaran lima puluh sampai seratus ribu rupiah. Setidaknya, kasihlah 300 juta rupiah, agar bisa bertahan hingga 5 tahun ke depan.

Nah! Mari kembali ke topik program pemilu, "Jika WIN-HT menjadi..."

Jika direnungkan kembali, metamorfosanya Pak Wiranto semata-mata murni karena hasrat terpendam beliau, yang dulunya memang senang main becak-becakan bersama teman-teman sepermainan masa kecil. Jika beliau saja bersedia merasakan pahit-getirnya menjadi tukang becak, mengapa saya malah menolak ikut merasakan kegundahan Pak Wiranto?

"Kegundahan" karena hanya melalui kampanye WIN-HT inilah Pak Wiranto akhirnya kembali merasakan nikmatnya mengayuh pedal keropos tukang becak. Dan, sekali lagi, "kegundahan", dimana hanya melalui kampanye WIN-HT ini sajalah, Pak Wiranto bisa ngobrol dan ngopi bareng tukang becak, walaupun dengan kromo inggil gaya abdi dalemnya keraton.

Wealah, ngger... Semoga saya cepat sadar bahwa semua kegilaan ini hanya terjadi selama pemilu. Semoga saya cepat sadar bahwa mereka adalah para malaikat karbit produk televisi.

Duh! Gusti... Jangan sampai saya malah pura-pura tuli dan buta, padahal hati saya sejatinya peka. Hanya lantaran saya tidak pernah bertanya kepada diri saya sendiri, sebenarnya seberapa besar keprihatinan dan kecemasan saya terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum, dan ekonomi di sekitar saya? Seberapa besar kecemasan saya terhadap kenyataan, dimana orang-orang justru tidak cemas terhadap itu semua?

Komentar

  1. "Kalau jenderal jadi tukang becak...
    Gubernur jadi tukang becak...
    Pengusaha jadi tukang becak...
    Pedangdut jadi tukang becak...
    Sampai diva seksi kelas model majalah pria dewasa pun, jadi tukang becak...
    Lalu, tukang becak jadi apa?"
    --> Jadi Banyak ! :d

    BalasHapus

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?