Jejak mutiara Sultan Kammel

Suatu petang, seorang pengelana waktu sedang asyik berbaring di bawah Pohon Ebony, terlelap dibuai pesona alam. Matahari mengintip dari balik awan berarak. Hembusan angin menggoyang ilalang ke kanan dan ke kiri. Senandung kicau burung mengiringi kepakan sayap-sayap serangga yang menebarkan wewangian bunga liar khas padang rumput.

Namun, belumlah ia sampai pada mimpi pertamanya, datang tiga bandit dari Negeri Timur mengusik ketenangan.

Bandit yang berbadan kekar dan berjenggot tebal, menodongkan belati ke wajah pengelana, “Hey! Orang asing. Tidak pernah terukir sejarah, seorang pengembara berhasil lolos dari kami, tanpa membayar uang penebusan nyawa.”

“Maafkan saya, duhai tuan...” Sang pengelana menggosok-gosokkan kedua tangannya, “sungguh saya terlalu fakir untuk kalian rampas.” Ia berharap malaikat maut tengah sibuk mencabut nyawa makhluk lain.

“Kalau begitu, mati sajalah kamu!” Sahut bandit yang sebelah matanya buta. Dengan gesit, ia menikam pengelana waktu.

“Tunggu, tuan-tuan!” Tangan Sang pengelana dan bandit pun beradu, “saya memiliki apa yang kalian tidak tahu. Jauh lebih berharga daripada emas sebesar Gunung Uhud.”



Melihat ketiga bandit mengacuhkan ucapannya, maka ia pun mengancam, “kalau saya terbunuh, maka harta karun legendaris seorang sultan akan tetap terkubur sampai kiamat!”

Bandit bermata satu mulai tergiur. Berkatalah ia, “Hey, pengembara! Ketahuilah, pernah ada seseorang seperti kamu, yang memohon-mohon untuk dilepaskan. Ia menukar nyawanya dengan peta menuju bunker emas milik keluarga raja negeri seberang. Namun, lembaran tersebut telah dibubuhi racun, sehingga teman kami terbunuh. Maka, ia kucekik. Setelah itu, bangkainya kujadikan cemilan babi.”

“Tapi saya ini bukan dia. Saya adalah pengelana zaman yang mengetahui banyak rahasia. Jika saja tadi saya mati, maka tuan telah melewatkan kesempatan mengantongi zamrud merah berusia ratusan tahun, yang terpendam tepat di sini.” Telunjuknya mengarah ke tempat ia sebelumnya berbaring. Namun, tidak ada yang percaya. Maka, jemari pengelana mengais-ngais tanah, hingga berlubang sedalam siku.

Terbuktilah ucapan pengelana. Sebongkah besar zamrud merah kini berada di tangan salah satu bandit.

“Tuan akan mendapatkan lebih baik lagi dari ini, jika membiarkanku hidup sepanjang aku berkisah.”

“Cih! Jangan macam-macam. Kami tidak butuh dongeng.”

King of Camel
Photo by nationalgeographic.com
“Bukan, wahai tuan berbadan kekar.” Sang pengelana duduk bersila, “legenda mengatakan tentang mutiara legendaris seorang sultan yang hidup selama 5 abad, di Tanah Seribu Unta.” Ia mulai berkisah, “Ialah Sultan Gamaal Thoriq Al Ghifari, yang bisa berdialog bahkan memerintah unta. Ia mulai dikenal sebagai Sultan Kammel setelah menaklukkan sejumlah pertempuran hanya bermodalkan unta sebagai pasukan, tanpa penunggang.

Wahai tuan, saya pun heran. Jangankan seribu unta, mengendalikan satu unta tunggangan pun, butuh waktu bertahun-tahun. Apa lagi menjadikan unta sebagai pasukan.

Memang pernah terjadi perang yang unik, yaitu saat Kaisar Yadzgrid III menjadikan gajah untuk memerangi tentara muslimin di Perang Qadisiyyah, tapi tetap saja dibutuhkan orang yang menunggangi gajah.

Namun, itulah karamah Sultan Kammel, yang disebut-sebut berkat mutiara biru.

Konon tersiar kabar, Sang sultan memperoleh mutiara biru dalam perjalanan spiritualnya menuju Dinasti Timuriyah. Mereka meyakini, mutiara Sultan Kammel mampu mendatangkan kekayaan, kejayaan, dan menjadikan pemiliknya awet muda, serta hidup kekal abadi.”

“Kalau memang benar dongengmu itu, lantas mengapa usia Sultan Kammel hanya 5 abad?” bandit bermata satu mengernyitkan dahi sampai terangkat sebelah alisnya.

“Sultan Kammel merasa lelah hidup terlalu lama, sedangkan istri hingga keturunan beliau telah wafat akibat wabah penyakit unta misterius,” jawab pengelana.

“Lalu dimana mutiara biru Sultan Kammel?”

“Saya yakin, Sultan Kammel menguburnya di Uzbekistan. Sayang sekali, keistimewaan mutiara biru melahirkan jurang berisi lahar panas lengkap dengan gas beracun. Tempat itu bernama ‘Pintu Neraka’.

Tidak ada satu pun manusia yang selamat setelah memasuki Pintu Neraka.

Tapi saya bisa memberitahu tuan, rahasia mendapatkan mutiara Sultan Kammel tanpa harus mempertaruhkan nyawa. Asalkan tuan melepaskanku dan membiarkan aku hidup.”

“Bagaimana kami bisa mempercayai dongeng karanganmu itu, wahai pengembara?”

“Duhai tuan-tuan yang kebuasannya tidak tertandingi, belum cukupkah bagimu atas pengetahuanku tentang zamrud merah, yang kini berada di tangan kalian?”

Ketiga bandit saling berpandangan, dan berikrarlah mereka, “wahai pengelana waktu, kami memang lebih keji dari manusia manapun yang pernah melegenda di bumi ini. Namun, kami selalu tepat janji. Mulai sekarang kamu bebas, dan kami tidak akan menyakitimu walau dengan sepenggal lisan pun.

Nah! Sekarang beritahu kami rahasianya.”

“Berserah dirilah kepada Allah,” itulah petunjuk pertama, “tempuh jalan yang berlawanan sesuai empat penjuru mata angin.” Pengelana melanjutkan ucapannya, “karena tuan hanya bertiga, silakan pilih arah yang kalian sukai.

Kemudian lakukan kebaikan setiap 313 langkah. Setiap satu kebaikan yang tuan lakukan, maka satu malaikat akan memohon belas kasihan Allah. Namun, jika salah satu di antara tuan berbuat fasiq dan munafik, niscaya 1000 malaikat akan memerangi, sehingga kalian hanya mendapatkan lelah dan derita.” Usai memberi petunjuk, Sang pengelana mohon diri untuk melanjutkan perjalanan.

Hari berganti minggu. Purnama terus berlalu. Tahun-tahun dijalani atas niatan memperoleh mutiara legendaris Sang sultan. Kebaikan sepanjang langkah, membuat nama mereka termasyur.

Great Stories by Great Writers
Photo by nulisbuku.com
Hingga tibalah masanya, ketiga bandit bertemu kembali di tepian Pintu Neraka. Mereka saling menuangkan rindu dalam kisah petualangan. Sebagaimana bandit berjenggot tebal, dengan heroik menyelamatkan nyawa seorang nenek yang nyaris menjadi santapan buaya. Pengalaman bandit bertubuh jangkung pun tidak kalah seru, ia menggunakan semua uangnya untuk mengganjal perut-perut lapar warga sekampung dengan roti gandum dan susu selama seperempat tahun. Begitu pun dengan bandit bermata satu, bersaksi di pengadilan untuk menyelamatkan seorang saudagar dari fitnah dan hukuman pancung.

Usai bercerita, mereka sepakat melanjutkan misi memperoleh mutiara Sultan Kammel. Tampaknya perjalanan panjang penuh lika-liku, telah menumbuhkan keimanan. Mereka menengadahkan tangan, berdoa kepada Tuhan semesta alam. Siang hari mereka berpuasa, kemudian malamnya berbuka dengan apa saja.

Sehari. Dua hari. Tiga hari. Tidak terjadi apa-apa. Namun, dinding ketauhidan mereka semakin kokoh dan tebal. Keyakinan mereka tidak goyah.

Akhirnya, menjelang Ramadhan, kisah Sang pengelana pun terbukti. Benda bulat dengan kilau kebiru-biruan menyembul ke permukaan lahar Pintu Neraka. Perlahan mutiara tersebut naik, kemudian mendarat tepat di antara kaki ketiga bandit. Mata mereka berbinar memandang mutiara Sultan Kammel.

Tiba-tiba, bandit berjanggut tebal tertegun, “teman-teman, adakah di antara kalian yang tahu, bagaimana caranya menggunakan mutiara ini?”

Keduanya menggeleng. Andai saja waktu dapat diputar, tapi... Ah! Sudahlah.

Mutiara Sultan Kammel dicemplungkan ke Pintu Neraka. Mereka pulang dengan tangan hampa. Akan tetapi, ribuan kebaikan ketiga bandit tidaklah sia-sia, karena derajat mereka kini mengungguli bangsawan. Kebaikan ketiga bandit pun kekal melalui kisah yang diceritakan secara turun temurun.

"Jejak Mutiara Sultan Kammel diikutsertakan dalam proyek menulis buku kolaborasi edisi spesial Ramadhan 1434H.
Walaupun gak yakin buku ini masih bisa dipesen, tapi posting saja deh..."

Komentar