Mbah Nestopo: Sabarlah Menggenggam Cinta

Obrolan petang menjelang senja di suatu pelataran dekat saung Mbah Nestopo. Begitulah kira-kira tetangga memanggil beliau. Entah apa sebabnya ia dijuluki "Mbah Nestopo". Padahal, jika merunut sejarah kelahiran beliau, sebaris nama apik tercetak rapi pada selembar akte kelahiran: Agni Sumirat Rangkul Asmara.

Fall in Love
Photo by hdwallpaper.com
Sekilas, nama beliau trendy, kan? Tapi, kehidupan tidak melulu sebeken nama Si pengampu. Bagaikan roda, kadang di atas. Kadang di bawah. Kadang kejungkir sampai meringsek.

Sekedar catatan. Jika panjenengan merasa terganggu dengan sejumlah kosakata Jawa yang bisa jadi tidak saya terjemahkan karena belum menemukan padanan kata yang pas dalam Bahasa Indonesia. Saya anjurkan, sebaiknya segera tutup saja tab browser anda. Atau, alangkah lebih bijaksananya, sekalian saja panjenengan matikan layar monitor tersebut, sebelum ritual tidur panjenengan menjadi terganggu lantaran mimpi buruk yang tidak berkesudahan.

Lantas... Mari... Saya... Lanjutkan... Berkisah...

Mbah Nestopo ini lumayan sering kedatangan tamu jauh. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk minta petuah. Atau, akan lebih membumidaya lagi, jika disebut sebagai wejangan berbau klenik. Walaupun, sudah berkali-kali simbah mewanti-wanti pasiennya bahwa dia bukanlah pakar kegaiban atau kanuragan. Hanya lantaran dia merupakan turunan ketujuh seorang ulama dengan nama termasyur hingga ke negeri unta. Ditambah kesaksian-kesaksian warga bekas pasien, yang sejatinya menurut simbah: Jelas-jelas ngapusi.

Nah! Bagaimana dengan saya?



Patut diakui, sebagai pengagum keelokan bidadarinya dunia ciptaan Gusti Allah, kadang membuat hati saya resah, walau tidak sampai semerana itu. Akhirnya, saya hinggap juga kepangkuan Mbah Nestopo. Ikut menengadahkan tangan sampai terkuncup-kuncup, mengisyaratkan butuh nasehat. Berharap beliau bersedia meredakan goncangan batin. Seandainya dianalogikan, kira-kira hati saya bunyinya kemruyuk, persis perutnya tukang minta-minta.

Lapaaar, kanjeng ratu... Lapaaar...
"Duh! Gusti... Jika saja, bisa kudengar suaraMu tatkala bicara pada seorang hamba yang sedang ngilu hasratnya ini. Maka ampuni dan nasehatilah saya karena berkali-kali menduakanMu... Percayalah. Bukan syirik. Hanya dijebak cinta dua manusia..."

*************
Sore hampir menjelang. Di tengah kesibukan matahari bersembunyi dari rembulan, tiba juga giliran saya mengadu gelisah dan rindu yang tumplek menjadi satu kepada Mbah Nestopo. Wajah saya tampaknya lebih mirip ketoprak, saat itu.

Singkat cerita, beliau kini sudah tahu perkara hati saya. Saya kira tadinya, Mbah Nestopo itu njawi sekali watak dan perilakunya, yaitu kalem, tenang, bicaranya singkat sekaligus kena sasaran, dan penuh unggah-ungguh. Nyatanya, beliau senang juga cengangas-cengenges. Namun, bagaimana polah Mbah Nestopo, tidaklah penting untuk saya reka ulang.

Beginilah tanggapan Mbah Nestopo:
"Dulu saya sering ke main rumah teman, berdua. Teman yang saya ajak ya juga cuma itu-itu saja orangnya.
Eh... Suatu hari, saya main ke sana sendirian. Lalu, tuan rumah tanya: Tumben sendiri. 
Waktu itu, di meja tamu sudah tersedia tiga cangkir kopi. Satu buat tuan rumah, satu buat saya, dan satu lagi buat teman yang biasanya saya ajak ke sana. Memang dasar kebiasaan Si tuan rumah, dia selalu menyediakan minuman sebelum tamunya datang.
Karena hujan lama banget, udara dinginnya kelewatan, dan tidak memungkinkan teman saya bakalan nyusul, apa lagi sampai ngasih kabar. Maka, tuan rumah menyuruh saya minum kopi bagian teman saya itu."

Saya termangu mendengar cuplikan masa lalu Mbah Nestopo. Manggut-manggut seakan paham maksud ucapannya. Saya mulai memilah-milah pertanyaan, biar kesannya gak bodo-bodo amat. Terlalu dangkal jika terang-terangan saya tanya, "maksudnya gimana to, mbah? Apa hubungannya dengan cerita saya?"

*************
Masih memikirkan soal cerita kopi. Saya pun masih betah selonjoran dekat Mbah Nestopo.
"Mbah, kenapa kopi bagiannya temen simbah malah diminum? Bukankah alangkah baiknya jika simbah bungkus untuk dibawakan kepada teman simbah yang biasa nemeni itu. Lalu, simbah pulang. 
Kopi yang cuma secangkir itu, nantinya bisa jadi permulaan yang bagus buat kembali menyambung silaturahim dengan teman simbah."

Beliau tidak langsung menjawab begitu saja pertanyaan saya. Mbah Nestopo malah meminta kepada babunya untuk menyediakan segelas susu dingin untuk saya. Mungkin Mbah Nestopo ini lagi jam-jamnya konslet.

Coba bayangkan! Hujan-hujan begini. Tepatnya dingin-dingin begini, saya malah disuguhi minuman dingin? Sudah gitu Sang abdi malah iya-iya saja. Tidak ada upaya pencegahan dari Sang abdi itu, walau sekedar mengingatkan saat ini lagi cuaca buruk. Saya pun sungkan menolak, karena hanya bertamu. Paling banter cuma bisa bilang: Jangan repot mbah, terima kasih. Tapi ya nasib, tetap saja Mbah Nestopo ngeyel mau menyuguhi saya susu dingin.

*************
Saya meneguk hidangan susu dingin di depan saya setengah nelangsa. Mbah Nestopo pura-pura tidak peduli gigi saya gemeretak gara-gara susu tersebut. Lalu, dijawablah pertanyaan saya sebelumnya:
"Daripada mubazir dan merepotkan tuan rumah, lebih baik saya minum. Lagi pula, tuan rumah malah jadi senang. 
Tidak perlu bawa yang macam-macam, apalagi sampai merepotkan orang lain, jika sekedar ingin menyambung pertemanan. Bagi saya, itu basa-basi yang tidak perlu. Lantas jika hadiah saya ditolak, apa saya perlu misah-misuh, sampai balas cuek, marah, dan menghindar?"

Wah, ya otak saya ini kan masih terbatas jangkauannya. Diomongi seperti itu malah tambah gak paham. Maksudnya gimana sieh Mbah Nestopo ini? Jangan-jangan malah beliau yang curhat ke saya. Atau memang wataknya simbah suka membalik-balik situasi? Mungkin dengan cara melihat permasalahan sendiri ke dalam diri orang lain, saya jadi lebih bisa menentukan sikap. Belum habis kebingungan saya. Menyebabkan pertanyaan terus menerus saya lancarkan: Jadi, simbah mendatangi teman simbah yang itu hanya bermodalkan senyum, sapa, dan hati yang lapang?
"Maunya saya sieh begitu saja... Tapi, karena sudah kadung sayang. Terlanjur rindu. Maka, saya belikan martabak manis dan klepon kesukaan dia dari toko langganannya. 
Saat perjalanan menuju rumah teman saya itu, cuaca buruk. Lebih buruk dari hatimu saat ini. Saya kehujanan. Keanginan. Kesiram air jalanan yang dinginnya bikin kelu, akibat ulah mobil-mobil yang bergaya ketika melintasi saya.
Saya naik motor waktu itu, nak. Saking dinginnya, gigi saya gemeretak. Tulang pegal-pegal semua. Leher saya nyeri, gara-gara urat mendadak mirip benang bundet.
Saya terus melaju, dengan bingkisan terkait di stang motor. Maklum saja ya, nak. Motor bebek. Motornya anak kuliahan. Saya gak punya bagasi motor. Sekalipun punya bagasi di motor saya, palingan isinya ya cuma wedang ronde sama kentongan bambu pos ronda. 
Sejalan-jalan saya tetap sumringah. Berbunga-bunga. Senang rasanya membayangkan bertemu dengan belahan jiwa. Lalu, melihat dia tersenyum ketika melihat apa yang saya bawa untuknya. Apalagi sampai bilang: Makasih ya, mas. I love you... 
Duh! Gusti..."

Kelihatan sekali di wajah Mbah Nestopo bahwa beliau sangat menikmati moment berharga itu. Saya pun sampai ikutan cengar-cengir, dan dengan pedenya bilang, "akhir yang bahagia ya, mbah? Menyatu kembali dalam martabak cinta..."

Eh... Siapa sangka simbah malah merengut. Katanya lagi,
"Enak sekali, kalau akhirnya memang seperti yang saya bayangkan. 
Nyatanya, dia menolak bingkisan yang saya bawa. Entah bagaimana perasaannya saat nyuekin saya yang datang menggigil lantaran basah kuyup. Mungkin dia sudah kadung sakit hati atas ucapan saya tempo lalu. 
Saat itu, senyumnya kelihatan berat sekali. Tapi, gak apa-apa. Sudah cukup bagi saya.
Dia tidak mempersilakan saya masuk, walau sekedar untuk unggah-ungguh. Lalu, pintu ditutup. Saya pun terpekur. 
Namun, saya yakin bahwa bukan maksudnya begitu. Dia hanya sedang sedih, marah, penat, dan mencoba memahami saya serta dirinya. Itu saja."

Wah! Ngenes kisah cinta Mbah Nestopo ini. Kalau saya jadi beliau, mungkin saya langsung misah-misuh. Ngomel sepanjang hari. Menyesali kenapa harus mendatangi orang itu. Ditambah bawa bingkisan. Lihat dunk pengorbanan saya... Setidaknya saya sudah berikan semuanya. Waktu. Tenaga. Pikiran. Materi. Bahkan, hati saya pun sudah jadi miliknya. Seharusnya, dia bisa lebih menghargai usaha saya untuk membahagiakannya. Bukannya malah berbalik jadi egois seperti itu.

Wajar, kan? Bagaimanapun juga, saya ini masih manusia yang punya hati. Menyimpan rasa, karsa, dan prasangka.

*************
Hingga tiba saatnya berpamitan dengan Mbah Nestopo, saya masih belum paham makna di balik ceritanya. Jangankan sebuah makna. Bahkan hikmah sekalipun, saya tidak ada bayangan.

*************
Mbah Nestopo mengantar saya sampai ujung simpangan persawahan. Sebelum benar-benar berpisah, beliau berpesan,
"Lebih bersabar ya, nak...
Jangan sampai memutuskan segalanya atas dasar sakit hati. Karena bisa jadi, keputusan gegabahmu itu, membuatmu kehilangan apa yang seharusnya masih bisa kamu miliki hingga saat ini. 
Jangan pedulikan setan-setan di sekelilingmu yang berusaha menenangkan hati dengan berkata: Ini semua demi kebaikannya, agar dia bahagia. 
Ingat! Ojo wani-wani nek ra wani. Jangan sok berani, padahal gak ada nyali. Itu namanya bukan nekad, melainkan bunuh diri. Paham?"


Christian Bautista - The Way You Look at Me

Komentar