10 Malam Terakhir Bulan Ramadhan

Ya Allah... Bulan Ramadhan sisa 10 malam lagi. Rasanya, terlalu singkat perjumpaan saya dengan bulan spesial satu ini. Padahal, jika saya mengukurnya dengan teknik menghitung hari, terasa lama banget untuk pindah dari satu senja ke senja berikutnya. Akan tetapi, begitu saya lihat kalender, tiba-tiba hati saya langsung mak-nyeesss... Karena waktu telah berlalu begitu saja, dan bisa jadi terbuang tanpa saya sadari. Sampai-sampai, muncul kegumunan pada diri ini. Dua puluh hari di Bulan Ramadhan ini, saya ngapain aja sieh?
10 malam terakhir Bulan Ramadhan
Photo by thetruthfulcall.wordpress


Jika saya kilas balik. Review. Intermezzo. Nostalgia. Apapun itu istilahnya untuk menggambarkan keadaan mengingat kembali hari-hari yang telah berlalu, banyak hal yang saya telah lewati dengan banyak menangis, sedikit tertawa. Why? Semoga saja tangisan itu karena menyesali dosa di masa lalu. Semoga saja tangisan itu karena mohon ampunan Allah Jalla Jallaluh. Semoga saja tangisan itu karena ingat betapa lemahnya diri ini di bumi dan langitnya Allah Jalla Jallaluh. Sehingga, ketika orang lain melihat tetesan air mata itu berguguran, ketika mata ini melihat guratan bekas-bekas air mata yang mengalir di pipi dan sela-sela hidung, saya tidak menjadi riya maupun ujub. Dijauhkan dari bangga diri, sifat tinggi hati, perasaan paling suci, dan merasa paling dekat dengan Allah Jalla Jallaluh.



Waktu memang telah berlalu. Dan, pertanyaannya sekarang adalah: Apa yang bisa saya lakukan di 10 malam terakhir Bulan Ramadhan ini?

Menangis? Meratap? Menyesal? Atau... Seperti muda-mudi pada umumnya? Yaitu, nyiapin sekotak besar petasan cabe, mercon, dan kembang api. Cari terompet yang besar, indah, dan suaranya paling nyaring biar semarak. Berburu baju diskonan di super mall terdekat hingga terjauh. Ngabuburit plus nongkrong di pinggir jalan atau tepian jembatan layang, sambil jongkok persis orang pengen pup dengan ekspresi pelanga-pelongo, dan sesekali ketawa-ketiwi dengar humor yang hanya dimengerti oleh kaumnya sendiri.

Memangnya salah ya kalau saya kayak gitu?

Well, tolak ukur sesuatu salah atau tidak sejatinya ada pada pribadi yang terlibat. Dipandang secara nilai-nilai agama, tentu saja salah. Dipandang secara kemasyarakatan, bisa jadi netral. Dipandang secara nilai budaya dan sosial, belum tentu salah. Tidak pantas dan tidak layaklah bagi saya, sebagai orang luar, mengatakan hal itu salah, hal ini salah, yang benar begini, yang benar begitu, dan lain-lain. Karena siapalah saya? Apakah saya sebersih itu? Bisa jadi, mereka yang saya cela justru lebih baik daripada saya, ketika mereka hijrah dan bertaubat. Bisa jadi, saya yang mengaku arifin ini justru lebih buruk daripada mereka, ketika saya terpleset dan melakoni pengalaman tersebut.

Heemss... Ini hanyalah sekedar perenungan di sisa-sisa Bulan Ramadhan, yang semoga saja tidak menjadi sia-sia...
Jika ini ramadhan terakhir saya...
Photo by youtube.com

Komentar

  1. Ya Allah,,,amal apa yg nantinya akan aku bawa? sedih rasanya,,,masih banyak dosa,,,tak jarang tanpa sengaja masih suka ngomongin orang,,,menyakiti orang,,,masih belum siap rasanya,,,

    BalasHapus
  2. Ya.. Hambamu ini masih mengakui. Selama puasa ini terjadi banyak sekali ketidaksempurnaan dan kesalahan pada diri hamba...

    BalasHapus

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?