Review Film 12 Years a Slave

12 Years a Slave
Photo by imdb.com
Tepat pada awal Bulan Maret 2014, tanggal 1 Maret 2014. Saya dan Sunny Feehily, teman saya yang cantik itu, janjian di Botani Square Bogor untuk nonton film berjudul, "12 Years a Slave". //--Hmm saya rasa, lain kali intro yang nantinya bakalan jadi penting seperti ini, sebaiknya diminimalisir saja pada sesi muntah postingan berikutnya...

Overall, film "12 Years a Slave" sukses menginspirasi saya sampai mules-mules, karena adegan penyiksaan terhadap kaum hawa yang saya nilai secara estetika tidak layak dikonsumsi anak kecil.

Singkat cerita, film berjudul "12 Years a Slave" besutan sutradara Steve McQueen, menyajikan kisah sederhana yang diangkat dari kisah nyata seorang pria keturunan Afrika Amerika bernama Solomon Northup, yang menetap di New York. Solomon Northup sejatinya terlahir sebagai penduduk sipil berstatus "Bukan Budak". Hanya gara-gara tingginya permintaan stock budak kulit hitam di zaman perbudakan, maka Solomon Northup menjadi korban fitnah. Dia diculik di Washington, D.C., pada tahun 1841 untuk dijual di pasar budak.



Pak sutradara Steve McQueen lebih mengutamakan asam-pahitnya kehidupkan para budak kulit hitam daripada memaparkan proses penculikan Solomon Northup. Dikisahkan, Solomon Northup terpaksa mencicipi kehidupan para budak kepada tiga tuan yang berbeda karakter.
"Tidak ada satu orang pun ingin dilahirkan sebagai seorang budak. Namun, jika menjadi budak merupakan bagian dari takdir, maka mengabdi kepada tuan yang baik atau jahat bergantung pada keberuntungan tiap individu."

Seperti mindset yang ingin dibentuk oleh Steve McQueen. Maka, seperti berikut ini jugalah penilaian saya terhadap "12 Years a Slave".

In a slaves market
Photo by cheatedhearts.com
Alur cerita:
"12 Years a Slave" tidak semata-mata berfokus pada kehidupan Solomon Northup sebagai budak, melainkan juga menyoroti kehidupan budak-budak lain di sekitar Solomon Northup. Seandainya saja Steve McQueen hanya membidik Solomon Northup, bisa jadi penonton akan cepat bosan karena penyajian perjalanan hidup Solomon Northup terkesan kurang greget.

Sederhana saja... Solomon Northup mendadak menjadi budak semenjak diculik. Bekerja di perkebunan. Berusaha untuk tetap hidup dan memperjuangkan hak-hak kemerdekaannya. Setelah 12 tahun menjalani itu semua, maka dia pun bebas melalui pertolongan seorang teman dari tuannya yang jahat.

Efek dramatis:
Efek adegan demi adegan murni diciptakan dari kekuatan karakter yang dimainkan oleh para aktor. Tidak ada efek animasi yang menonjol --atau sama sekali tidak ada?. Semua tampak natural, termasuk make-up para aktor "12 Years a Slave". Dan emosi penonton dibangkitkan melalui dialog dan lagu-lagu ber-genre Blues.

Setting lokasi:
Suasana primitif, classicvintage, dan old-style dalam film "12 Years a Slave" terasa sangat kental. Bagi penonton yang kecenderungan menyukai film bergaya modern-futuristik, saya rasa tidak akan cocok menonton film "12 Years a Slave", karena film ini lebih banyak bermain di hutan, rawa, dan perkebunan. Hanya sesekali saja Steve McQueen menampilkan suasana perkotaan atau pesta para bangsawan.

Kualitas akting para aktor:
Jika saya beri nilai nyaris sempurna untuk kualitas akting mereka, kira-kira berlebihan gak ya? Semoga saja, para penikmat film sepakat dengan penilaian tersebut. Sebagian besar aktor menyajikan ekspresi datar yang benar-benar natural. Tidak over-acting, dan tidak pula clumsy. Wajah para budak tampak sangata less of expression sesuai porsi masing-masing.

Hanya satu hal yang jadi pertanyaan saya: Ngapain Brad Pitt penampakan di film "12 Years a Slave"?

Komentar

  1. aku merencanakan nulis ttg film ini juga sih. tetapi kemarin nontonnya baru setengah main. saat solomon digantung di pohon... ada urusan lain yg memaksa berhenti. blm sempat konton lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah iya itu, kasihan banget mas mt... Solomonnya digantung seharian biar jadi bukti ke tuannya kalau nyawanya jadi inceran Mr. Tibeats @-)
      Lanjut lagi laah nontonnya :d

      Hapus

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?