Memanfaatkan Kredit Usaha Rakyat Sebagai Fasilitas Negara Indonesia

Apa yang terbesit dibenak kamu, ketika mendengar kata "super hero"?

Batman chibi
Photo by devianart.com
Pahlawan super dengan senjata dan kendaraan canggih? Atau penegak keadilan dan pembela kebenaran misterius, berkostum nyentrik ala Batman dan Superman?

Kata "super hero" menggiring saya kepada sesosok jagoan hebat yang menyelesaikan masalah tanpa masalah. Apalagi, diikuti embel-embel "bagi pengusaha mikro". Wah! Langsung terbayang adegan heroik di suatu pasar, dimana jagoan saya baku-hantam dengan preman-preman bertubuh kekar dan berwajah sangar. Akan tetapi, dalam realita, apakah super hero di dunia bisnis benar-benar ada? Jawabannya bervariasi, bisa jadi "ada", "tidak ada", "tidak tahu", atau "mungkin saja antara ada dan tiada".

Bahasan tentang "super hero" menjadi semakin menarik ketika menyinggung masalah bisnis, utang-piutang, dan hal lain seputar uang. Misalnya, jika saya memiliki usaha yang berkembang pesat dan permintaan pasar semakin tinggi, sehingga perusahaan dituntut memproduksi lebih banyak barang tapi tidak didukung oleh kas perusahaan dan daya produktivitas. Akibatnya, segala keterbatasan tersebut membuat saya menjadi pusing, lemah, lesu, buntu, dan berteriak, "MODAAALL!!!"

"Tenang! Tenang! Kan, ada KUR..." Mendadak muncul Pak RT dari balik pintu dan berkata, "Kredit Usaha Rakyat." Kemudian, saya pun melongo.



Istilah Kredit Usaha Rakyat (KUR), saya dengar pertama kali melalui iklan masyarakat di TV, dimana sasaran utamanya adalah pengusaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Sebelum diadakan program KUR, para pengusaha yang bergelut di Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKMK), umumnya terbentur masalah modal untuk pengembangan usaha, karena bank menilai UMKMK masih belum bankable. Bankable merupakan istilah yang digunakan pihak bank untuk mengukur tingkat kelayakan suatu usaha atau individu. Singkatnya, suatu badan usaha dikatakan bankable, jika memenuhi persyaratan perkreditan dari bank.

Kondisi UMKMK yang feasible tapi belum bankable, sering kali diabaikan oleh bank karena agunan milik pelaku usaha dinilai tidak meyakinkan. Maka, di sinilah peran KUR dalam membantu pengusaha UMKMK tersebut. UMKMK dinilai feasible, jika usaha tersebut produktif dan layak, yaitu setiap aktivitasnya, baik memproduksi barang maupun jasa, bisa memberikan nilai tambah, meningkatkan pendapatan, dan mampu melunasi hutang atau kewajiban pokok kredit, berserta bunga atau marjinnya secara tepat waktu.

Nah! Saya coba ambil studi kasus, agar lebih mudah memahami pembahasan KUR. Diasumsikan, seorang pengusaha sate keliling alias pedagang kaki lima, yang berjualan menggunakan gerobak, ingin memperluas jaringan usahanya dengan cara membuka cabang, karena dagangannya selalu habis dan laris diborong pelanggan. Namun, buku catatan keuangan menunjukkan, bahwa dia kekurangan dana. Untung saja, inkubator bersedia membantunya mewujudkan harapan, asalkan tersedia dokumen-dokumen seperti legalitas usaha, perizinan usaha, catatan keuangan, dan lain-lain.

Membayangkan skema di atas, jadi terbesit beragam pertanyaan di benak saya, yaitu:
  1. Apa ada tukang sate keliling yang memiliki surat izin usaha atau legalitas usaha?
  2. Bagaimana cara mendapatkannya?
  3. Apakah pengusaha, yang menerapkan sistem self-employee, memiliki harapan untuk mendapatkan surat-surat perizinan usaha dan bukti legalitas usaha? Dan, 
  4. Apakah catatan keuangan usaha pedagang kaki lima bisa dipercaya dan dijadikan lampiran file untuk memperoleh dana KUR?

Komentar

  1. kalau masalah utang piutang, saya suka sekali mas. Asal saya gak didatengin pria berotot pake dasi deb-colector :D

    Salam perkenalan saya

    BalasHapus
    Balasan
    1. :-d seandainya debby-collector adalah pria berotot kelas bulu..
      salam kenal juga mas heru, terima kasih udah mampir (f)

      Hapus

Posting Komentar

Apa yang Anda pikirkan setelah membaca tulisan ini?