Masih Enak Zaman Soeharto Kan?

Harus kutapaki dengan bagaimana sejarah bangsaku, jika mereka yang jelas berjasa pun harus tenggelam dalam hiruk-pikuk pro dan kontra sepanjang masa.

Pernahkah terbesit di benakmu, mengapa spanduk Pak Harto bisa sampai nampang di pinggir jalanan raya? Apalagi, bertuliskan:
"Piye kabare? Iseh penak jamanku to...?"

Hello, Soeharto! I'm fine here. Thank you.
Photo by antaranews.com
Sebuah sindirankah? Sekedar guyon satire? Salah satu tools untuk kampanye menyambut pemilu? Atau rindu mengenang masa Orde Baru?

Apapun itu, saya tetap harus objektif ketika memandang kesuksesan suatu orde. Jangankan di dunia nyata, bahkan protes keras dan sentilan-sentilun terhadap gaya para pemimpin negara akan tetap hidup sekalipun di alam awang-awang.

Saya coba ambil sejumput kenangan sebagai perbandingan antara Orde Baru dengan Orde Reformasi bernuansa revolusi.

Soeharto adalah seorang legenda. Ia adalah suatu potret perjalanan Bangsa Indonesia. Namanya terukir pada zaman Orde Baru yang menyenangkan, khususnya bagi para petani. Masyarakat Indonesia yang mayoritas berprofesi sebagai petani, diberikan hak prioritas khusus dan istimewa. Tak ada ceritanya soal kelangkaan pupuk, walaupun harga pupuk mungkin lebih tinggi daripada Harga Eceran Tertinggi (HET), tapi stok pupuk selalu ada di kios-kios pengecer.



Bandingkan dengan sekarang, Orde Reformasi. Pak SBY membebaskan pasar mengelola komoditi pupuk, sehingga hanya pedagang berduit saja yang bisa bermain. Akibatnya, kisah kelangkaan pupuk kerap kali didengung-dengungkan. Sudah harganya mahal, ditambah lagi very rare edition.

Indonesia, make it all peace and save!
Photo by marhaenisme.com
Layaknya Pak Harto, secara nyata Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun seseorang yang fenomenal. Ia bagaikan kunci utama pintu-pintu sejarah baru. Orde Reformasi yang dimaksimalkan oleh beliau merupakan kabar gembira bagi kaum cendekiawan. Semua bebas bicara hingga kebablasan. Ketika tidak suka, maka katakan, "tidak". Dan ketika suka, maka suaranya bisa saja "ya" atau "tidak". Pers bisa meliput apa saja. Netizen berhak mengkritisi, bahkan mem-bully tokoh negara.

Mari sama-sama intermezo ke suasana mencekam di zaman Orde Baru, yaitu ketika dinding seakan bisa mendengar. Rakyat dituntut mesti "PLEK!" manut apa kata Sang Presiden. Tidak tanggung-tanggung, setiap kali pemilu, mulai dari pegawai negeri, BUMN, hingga swasta harus mencoblos kader bendera beringin-padi-kapas. Apa akibatnya kalau ada pegawai ngeyel atas perintah pimpinan? Maka, dia harus siap angkat kaki, "say good bye", dan masuk black list.

Singkatnya, Orde Baru adalah masa kemaruk. Jika ada yang bisa dijual, maka akan dijual. Kalau bisa digadaikan, ya gadaikan saja. Para pejabat korup bisa berlenggak-lenggok di mall dan restaurant mana saja, yang "WOW!!!" dan "Waahhhh..." Catatan keuangan negara tidak pernah transparan. Jika ada pejabat yang terendus hobi makan uang rakyat, maka ia akan segera dipindahkan alias ganti jabatan. Akibatnya, penghuni ruangan yang semula bersih dan bebas penyakit, mendadak tertular virus korupsi stadium akut. Mata dan mulut rakyat dibungkam dengan harga murah dan stok barang melimpah. Sekaligus dipaksa untuk ikut menanggung hutang seumur hidup, seketurunan.

Kemudian, Orde Reformasi adalah masa cuci piring. Pesta sudah usai. Budaya korupsi yang sudah menggurita, sehingga terkesan petugas bersih-bersih kesulitan mencabut ribuan tentakel yang sudah menancap dan menghisap nurani penerus bangsa. Satu untuk semua. Semua untuk satu. Satu mati, maka mati semua. Semua mati, maka tamatlah riwayat citra negara.
"Hidup di Orde Reformasi sulit! Apa-apa mahal. BBM naik terus. Cuma Pak Harto yang sayang kami..."

Betul begitu katamu? Saya paham. Itulah ucapan orang-orang yang memimpikan kembalinya rezim totaliter, dimana hak individu dihapus, sehingga bebas bercengkrama dengan romantisme previlege. Individu dipandang sebagai hamba negara yang tidak memiliki kebebasan memilih atau bersuara. Dimana mereka yang sekedar ikut-ikutan mengutarakan kerinduannya terhadap pemimpin masa lalu, seakan lupa bahwa motor, komputer, dan ponsel sekarang mudah dibeli sekalipun oleh tukang becak.

Indonesia, kamulah bangsa belahan jiwa dan raga.

Komentar