Memahami Puasa Atau Memaknai Puasa?

Sudah basi belum, sieh? Kalau saya ngasih komentar tentang artikel di blog-nya Mas Palagan?
Kira-kira hampir seminggu sejak artikelnya tentang puasa itu dimuat, saya sudah punya opini sendiri dan memang berencana mau ngomentari lewat blog saya ini. Seandainya saya ditanya, "kenapa gak comment on the spot aja sieh?" Wah, gimana ya? Bakalan jadi komentar berseri, nantinya. Komentar session satu. Komentar session dua. Komentar session Idul Fitri. Huff... Mendingan gak deh.



//--Haiss ngelantur lagi deh saya ngomongnya...

Sebenernya artikel apa sieh? Penasaran gak?
APPAAA?! Biasa aja?
Ya sudah, kalau gitu pulangkan saja saya ke rumah ibuku, atau ayahku!
//--Kata editor di belakang saya, "durasi! durasi!"

Beberapa hari yang lalu, Mas Palagan ngeposting tentang style ngehormatin orang berpuasa, kemudian disusul dengan postingan berikutnya, mengenai rahmat Allah ketika berpuasa. Seandainya saja, Mas Palagan menghentikan postingannya hanya sampai postingan pertama, bisa jadi saya gak akan mengangkat tema ini, sekarang. 
//--Btw, sejak kapan saya manggil +NM Palagan pakai "Mas"? Sok mesraa! Biasanya cuma Palpal

Saya tidak menyalahkan maupun membenarkan pendapat Palagan. Kalimat tersebut perlu bold and underlined, "saya tidak menyalahkan, tapi memberikan pemahaman lebih lanjut..."

Gini lho, Pal...

The restaurant
Photo by commons.wikimedia.org
Soal tempat makan yang dikasih tirai-tirai penghalang atau mendadak tutup sepanjang siang karena moment Ramadhan, gak semata-mata untuk menghormati orang yang berpuasa, tapi akan lebih tepat jika ditinjau dari segi tingkat keimanan seseorang. Tingkat keimanan saya dengan kamu, bisa jadi berbeda, walaupun aku dan kamu sama-sama terlahir sebagai muslim.
Sampai sini, bisa dipahami? Saya bukan alien kok

Okay. Saya coba ambil contoh kasus.

Asumsikan saja, saya adalah pemilik rumah makan, biar pun di tengah hari bolong Ramadhan, saya gak ngikutin trend warung lain yang pakai tirai-tirai buat nutupin aktivitas pengunjung. Trus, kamu ngelewatin rumah makan saya sambil ngegandeng anak-anakmu yang lucu, imut, dan menggemaskan.

Eh? Eh? Kok gak ada angin dan gak ada hujan, anakmu yang awalnya semangat puasa sampai berapi-api, mendadak luntur deh, ngerengek minta makan gara-gara ngiler lihat orang-orang yang gak puasa, asyik menyantap hidangan di tempat saya. Padahal, usia mereka tergolong baligh, yaah sekitar 10 tahunan lah, kategori wajib puasa.

Gimana tuh, Pal?
"Lho, ya gak mungkin anak-anakku begitu. Mereka sudah kudidik menjadi anak-anak yang sehat, kuat, dan tahan banting seperti bapaknya. Tapi wajar aja, mereka kan masih belajar puasa..."
Gak bisa gitu juga sieh, Pal. Mau 10 tahun kek, 20 tahun, atau berapa tahun pun, ini berkaitan dengan semangat atau bahasa bekennya "mental". Apa saya sebagai pemilik rumah makan, jadi gak dosa? Saya cari rejeki, tapi berpotensi bikin orang lain jadi batal puasa sebelum waktunya. Itulah mengapa, warung-warung lebih memilih tutup.

Pal, rejeki gak akan kemana kok. Kalau dia sampai kemana-mana, tetap bisa dicari, kemudian dikandangin.

Biarpun warung saya tutup, nanti akan beroperasi lagi, mulai dari menjelang Maghrib sampai selesai waktu sahur. Lebih tepatnya, warung-warung jajanan malah punya peluang buka 24 jam non-stop! Seandainya rumah makan saya tutup di siang hari, pasti banyak faktornya, seperti capek harus nyiapin jatah makanan dua kali lipat, belanja ke pasar, koki-koki ahli kelelahan karena harus nyiapin makanan dari fajar ketemu fajar buat memenuhi perut-perut lapar umat muslim dan non-muslim, dan lain-lain.
"Itu dia ujiannya orang berpuasa... Layaknya orang lagi sekolah, pasti ngadepin yang namanya ujian kenaikan kelas."
Ah, itukan katamu. Menurutmu. Pola pikirmu. Tapi gak semua bisa punya keyakinan seteguh kamu, Pal. Jangan dipukul rata...

Sesuatu dikatakan "ujian", kalau orang tersebut sekolah. Masalahnya, dari segini banyaknya orang muslim di tanah air tercinta, Indonesia, gak semuanya sekolah. Lebih dari 50% penduduk muslim di Indonesia cuma tahu intisari Islam adalah puasa, sholat, baca Qur'an, zakat, sedekah, dan zikir. Kemudian, sesuatu bisa dikatakan "teguran", kalau orang tersebut melakukan kesalahan. Tapi apa iya, semua umat muslim itu melakukan kesalahan yang sama? Apa ya cocok, kalau saya yang ngelihat iklan jus segar di TV, tiba-tiba bilang, "saya lagi ditegur nieh sama Allah..." //--keplak jidat dulu. Emangnya, puasa itu salah?

Sedangkan, pada zaman Baginda Rasulullah saja, ketika ada orang mau bersedekah seperti sedekahnya Sayidunna Abu Bakar malah dilarang sama Baginda Rasulullah. Langsung dilarang oleh beliau sendiri karena tingkat keimanannya berbeda. Seseorang, walau awalnya berniat ingin berjuang di jalan Allah melalui sedekah, padahal sebelumnya dia gak pernah melakukan itu, tahu-tahu ngiler gara-gara lihat ada orang sedekah hingga ribuan Dirham dan jutaan Dinar. Apalagi ditambah mendengar salah satu keistimewaan sedekah, yaitu hartanya akan kekal di akhirat dan tidak akan pernah habis di dunia. 
Wah! Langsung semangat.

Hati-hati aja. Bisa jadi, setan yang nyuruh. //--Darimana ceritanya setan yang nyuruh kebaikan?

Ya di situlah pintarnya setan. Telinga manusia ditiup-tiupin yang baik-baik, disemangatin buat sedekah ini, amal ke situ, sholat sunnah sebanyak-banyaknya, sampai financial-nya gak mampu, dan badan pun lemas.
Akhirnya, apa komentar setan di telinga hamba Allah yang sebelumnya dia komporin?
"Haiss, ternyata amal sampai segini banyaknya, Allah belum ngasih juga sampai sekarang rejeki yang Dia janjikan. Mana? Katanya kalau Sholat Dhuha bisa mendatangkan rejeki. Halah! Non-sense. Omong kosong tuh janjinya Allah. Katanya, sedekah bisa melipat gandakan rejeki minimal 700 kali lipat. Kalau memang benar, ternyata Allah itu pilih kasih. Gak adil. Mendingan dari awal aja gak usah sedekah. Gak usah sholat macem-macem. Masih banyak yang harus ditangani selain sholat dan ngebuang uang di kotak amal..."
Innalillah... Itulah pentingnya mengukur tingkat keimanan.

Maka, alangkah baiknya saling menjaga saudara sesama muslim.

Apapun itu, semua bisa jadi alasan, Pal. Termasuk "menghormati orang yang lagi berpuasa". Inikan hanya masalah membahasakan gengsi.

Next. Tanggapan saya tentang cara Allah memberi rejeki walau sedang berpuasa, akan diungkapkan melalui postingan selanjutnya karena bakalan panjang bangeeet.

Komentar